Termasuk Binatang Ganas Pemakan Daging, Bolehkah Makan Daging Ikan Hiu?


Ikan hiu via kompasiana.com

Memang tidak termasuk dalam binatang bahari yang haram dimakan, tapi apa boleh binatang pemakan daging ini kita makan?

Meski tak banyak, tetap ada rumah makan yang menyediakan daging ikan hiu. Bagaimanakah aturan konsumsi daging ini dalam islam? Sejak usang konsumsi ikan hiu jadi kontroversi lantaran hiu termasuk spesies langka. Tapi selain itu ada alasan ilmiah soal tawaran tak konsumsi daging hiu.

Meski tak banyak, tetap ada rumah makan yang menyediakan daging ikan hiu. Apa ikan hiu halal dimakan? Mengenai aturan memakan daging ikan hiu masih banyak perbedaan pendapat yang terjadi. Oleh lantaran itu, simak klarifikasi lengkapnya dibawah ini.

Pengertian Ikan Hiu

Ikan Hiu adalah sekelompok (superordo Selachimorpha) ikan dengan kerangka tulang rawan yang lengkap dan badan yang ramping. Mereka bernapas dengan memakai lima liang insang (kadang-kadang enam atau tujuh, tergantung pada spesiesnya) di samping, atau dimulai sedikit di belakang, kepalanya. Hiu mempunyai badan yang dilapisi kulit dermal denticles untuk melindungi kulit mereka dari kerusakan, dari parasit, dan untuk menambah dinamika air. Mereka mempunyai beberapa deret gigi yang sanggup digantikan.

Apa makanan ikan hiu? Bagaimana ikan hiu berkembang biak? 

Makanan untuk ikan hiu yaitu anjing laut, penyu laut, ikan-ikan kecil, gurita dll. Selain memakan jenis binatang yang telah disebutkan, ikan hiu intinya juga memakan hampir semua jenis binatang kecil yang ada di lautan menyerupai misalnya kepiting, lobster, sotong, dan lain sebagainya yang ada di dasar laut. Sebab tidak jarang hiu berada di dasar bahari dan mencoba berkamungflase untuk menjebak mangsanya. Ikan hiu sendiri tergolong ikan yang rakus dan memakan makanan dalam jumlah yang banyak sekaligus. Bahkan terhitung dalam sehari ikan hiu sanggup mengonsumsi ikan dalam jumlah 200 Kg.

Kebanyakan ikan hiu berkembang biak dengan cara bertelur(ovipar), tetapi terdapat juga beberapa jenis yang melaksanakan perkembangbiakan atau melaksanakan reproduksi dengan cara melahirkan. Masa kehamilan pada seekor hiu betina sanggup mencapai kurun waktu sampai dua tahun, ini mungkin cukup panjang bagi seekor ikan untuk hamil dan di ketahui hiu dogfish berduri mungkin mempunyai periode kehamilan hiu terpanjang. Jadi, Ikan hiu melahirkan atau bertelur? Jawabannya sudah terang bahwa ikan hiu ada yang melahirkan dan ada juga yang bertelur.

Lalu kenapa ikan hiu diburu oleh manusia? Karena banyak yang sanggup dimanfaatkan dari badan ikan hiu itu sendiri dan mempunyai nilai jual yang sangat tinggi. Banyak insan yang mengambil sirip hiu, bangkai ikan hiu, pari, manta, dan teripang yang diperkirakan bernilai Rp 1,5 miliar.


Hukum memakan ikan via food.detik.com

Hukum Memakan Daging Ikan Hiu

Ikan hiu (Inggris : shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu. Dalam Kamus Al-Maurid, diterangkan bahwa shark (ikan hiu) yaitu ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya (al-qirsy samakun muftarisyun ba’dhuhu kabiirun yukhsya syarruhu).

Ikan hiu hukumnya mubah, lantaran termasuk binatang bahari yang hukumnya halal berdasarkan keumuman dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62). Dalil Al-Qur`an antara lain firman Allah SWT :

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan bahari dan makanan (yang berasal) dari bahari sebagai makanan yang yummy bagimu” (QS Al-Maidah : 96).

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyampaikan :

قوله تعالى أحل لكم صيد البحر هذا حكم بتحليل صيد البحر وهو كل ما صيد من حياته

“Firman Allah Ta’ala أحل لكم صيد البحر (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan aturan penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya…” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Imam Al-Qurthubi, 6/318).

Dalil hadis antara lain sabda Nabi SAW :

هو الطهور ماؤه الحل ميتته

“Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Malik, Ashhabus Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain) (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, no. 491).

Dalam kitab Aunul Ma’bud dijelaskan hadits di atas menawarkan beberapa hukum, di antaranya :

أن جميع حيوانات البحر أي ما لا يعيش إلا بالبحر حلال

“Semua hewan-hewan laut, yaitu binatang yang tidak sanggup hidup kecuali di laut, yaitu halal.” (Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy Abu Ath-Thayyib, Aunul Ma’bud, Juz 1/107).

Jadi, semua binatang bahari yaitu halal berdasarkan keumuman dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini yaitu ikan hiu.

Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, Karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring. Diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA, bahu-membahu :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ االسِّبَاعِ

“Nabi SAW telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” (HR Muslim, no. 3571)

Namun Al-Muhib Ath-Thabari memfatwakan bahwa al-qirsyu (ikan hiu) yaitu halal, mengikuti aliran Ibnul Atsir dalam kitabnya An-Nihayah. Menurut Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini pengarang kitab Mughni Al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini yaitu zhahir (jelas). (Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah (wal asyhar annahu mubaah). (Ibrahim bin Muhammad; Manarus Sabiil, 2/368).

Yang lebih rajih berdasarkan kami, adalah pendapat yang menyatakan ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Adapun dalil hadits Abu Tsala’bah Al-Khusyani di atas yang dipakai oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak sanggup diterima. Karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayaman al-barr), tidak meliputi binatang bertaring dari hewan-hewan bahari (hayawan al-bahr). Hal ini lantaran sudah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang bahari secara umum, termasuk ikan hiu.


Daging ikan hiu via kompasiana.com

Hukum bolehnya ikan hiu ini kami anggap lebih rajih, lantaran didasarkan suatu kaidah dalam ushul fikih (qaidah ushuliyah), bahwa semua dalil hendaknya diamalkan, bukan ditanggalkan (tidak diamalkan). Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan :

الأصل في الدليل هوالإعمال لا الإهمال

“Prinsip asal mengenai dalil yaitu wajib diamalkan, bukan diabaikan (tidak diamalkan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/240).

Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan aturan halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meski pun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak meliputi binatang bahari yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.

Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani di atas secara umum, sampai meliputi pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua bnatang laut, tidak diamalkan.

Padahal, mengamalkan dua dalil yaitu lebih utama daripada satu dalil, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ushul fikih (qaidah ushuliyah) :

إعمال دليلين أولى من إهمال أحدهما بالكلية

“Mengamalkan dua dalil lebih utama dari mengabaikan salah satu dalil secara menyeluruh.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/240).

Berdasarkan itu, maka pendapat yang menghalalkan ikan hiu yaitu lebih berpengaruh (rajih), lantaran berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas. Semoga klarifikasi diatas sanggup menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi Anda.
Sumber http://www.wajibbaca.com
Buat lebih berguna, kongsi:
close