
Gambar ilustrasi dilansir dari humairoh.com
Nabi SAW menganjurkan menikah muda untuk meredam syahwat...
Namun dizaman serba moderen ini, impian menikah sering kali terganjal dengan pendidikan dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya, syahwat tak terkontrol dan terjadilah perbuatan Zina yang terlaknat.
Mengenai permasalahan tersebut, begini solusi yang bisa dilakukan.
Nabi memerintahkan para perjaka untuk segera menikah. Karena ini solusi untuk meredam syahwat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah bisa untuk menikah, maka segeralah menikah, sebab nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)
Imam Ahmad pernah memperlihatkan nasehat,
ينبغي للعبد في هذا الزمان أن يستدين ويتزوج لئلا ينظر ما لا يحل فيحبط عمله
“Sepatutnya orang di zaman kini untuk mencari hutang agr segera menikah, semoga dia tidak memandang hal-hal yang tidak halal sehingga amal shalih yang dilakukan menjadi sia-sia.” (Ta’zhim As-Sunnah, hlm.23).
Jika demikian di zaman imam Ahmad, bagaimana lagi dengan zaman sekarang?
Solusi Bagi Mahasiswa yang Ingin Menikah demi Menhindari Zina Terlaknat
BUKAN syarat dan bukan pula kewajiban dalam islam bahwa siapapun yang melaksanakan ijab kabul harus segera kumpul dan melaksanakan kekerabatan badan.Artinya, boleh saja suami istri berpisah sehabis janji nikah, hingga batas waktu sesuai kesepakatan.
Rasanya hal inilah yang cocok diterapkan anak muda zaman sekarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dia berusia 7 tahun. dan Beliau gres kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Aisyah berusia 7 tahun. dan Aisyah kumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia berusia 9 tahun, sementara mainan Aisyah bersamanya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim 3546)
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada dikala usiaku 6 tahun, dan dia serumah denganku pada dikala usiaku 9 tahun.” (Muttafaqun ‘alaih).
(ومن استمهل منهما) أي الزوجين الآخر (لزمه إمهاله ما) أي: مدة (جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها (كاليومين والثلاثة) طلبا لليسر والسهولة، والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات
Jika salah satu dari suami istri minta ditunda maka harus ditunda selama rentang waktu sesuai kebiasaan yang berlaku, untuk persiapan bagi pihak yang minta ditunda, menyerupai 2 atau 3 hari, dalam rangka mengambil yang paling mudah. Dan pola dalam hal ini kembali kepada apa yang berlaku di masyarakat. sebab tidak ada pola baku di sana, sehingga harus dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat. (Mathalib Ulin Nuha, 5/257).
Itu artinya tak ada kewajiban bagi suami istri pribadi berkumpul bersama, bisa juga sehabis menikah kemudian berpisah untuk melaksanakan pendidikan masing-masing.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلم يأت الشرع بتأقيت معين للفترة ما بين العقد والبناء (الدخلة)، وبالتالي فالمرجع في تحديده إلى العرف وما توافق عليه الزوجان
Syariat tidak memilih batas waktu tertentu sebagai rentang antara janji dengan kumpul. Karena itu, pola dalam rentang ini kembali kepada ‘urf (tradisi masyarakat) atau kesepakatan antara suami istri. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 263188)
Mahasiswa dan mahasiswi yang menikah, mereka berhak untuk menunda kumpul, sesuai kesepakatan. Baik sebab pertimbangan belajar, atau masukan dari orang renta atau sebab pertimbangan lainnya.
1. Istri telah baligh
2. Istri tidak nusyuz.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama setuju bahwa suami wajib menafkahi isterinya jikalau isteri baligh dan tidak nusyuz (membangkang terhadap suami tanpa alasan)”.
3. Istri telah melaksanakan tamkin min nafsiha (bersedia untuk berhubungan)
Jumhur ulama – Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali – berpendapat, selama istri belum bersedia untuk melaksanakan kekerabatan tubuh atau pisah dengan suaminya sebab alasan tertentu, maka sang suami tidak berkewajiban memberi nafkah.
Dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ijab kabul dengan Aisyah dikala usia 6 tahun dan Nabi tidak menafkahinya kecuali sehabis kekerabatan tubuh di usia Aisyah 9 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan,
أن المرأة إذا سلمت نفسها إلى الزوج , على الوجه الواجب عليها , فلها عليه جميع حاجتها
Bahwa ketika perempuan telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, sebab alasan kewajiban, maka perempuan itu berhak mendapat nafkah – sebagai kewajiban bagi suaminya – untuk menutupi semua kebutuhannya. (al-Mughni, 8/195)
Demikian pula yang ditegaskan dalam Raudhatu Thalib – dengan Syarahnya – Asna al-Mathalib – Kitab Syafiiyah – ,
لا تجب النفقة بالعقد بل بالتمكين
Nafkah tidak wajib hanya sebab janji nikah, namun sebab tamkin (memungkinkan terjadi kekerabatan badan). (Asna al-Mathalib, 3/433)
Karena itu, Mahasiswa dan Mahasiswi yang melaksanakan janji nikah, kemudian mereka berpisah hingga batas waktu tertentu, nafkah masing-masing boleh tetap ditanggung orang tuanya masing-masing.
Setelah mereka kumpul, barulah kewajiban nafkah itu dibebankan ke suami.
Namun perlu diingat, solusi ini hanya untuk menghindari perbuatan zina. Bukan malah dipakai untuk main-main.
Demikian, Wallahu A'lam.
Sumber http://www.wajibbaca.com
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dia berusia 7 tahun. dan Beliau gres kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Aisyah berusia 7 tahun. dan Aisyah kumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia berusia 9 tahun, sementara mainan Aisyah bersamanya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim 3546)
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada dikala usiaku 6 tahun, dan dia serumah denganku pada dikala usiaku 9 tahun.” (Muttafaqun ‘alaih).
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus pribadi kumpul.
Ar-Ruhaibani mengatakan,(ومن استمهل منهما) أي الزوجين الآخر (لزمه إمهاله ما) أي: مدة (جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها (كاليومين والثلاثة) طلبا لليسر والسهولة، والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات
Jika salah satu dari suami istri minta ditunda maka harus ditunda selama rentang waktu sesuai kebiasaan yang berlaku, untuk persiapan bagi pihak yang minta ditunda, menyerupai 2 atau 3 hari, dalam rangka mengambil yang paling mudah. Dan pola dalam hal ini kembali kepada apa yang berlaku di masyarakat. sebab tidak ada pola baku di sana, sehingga harus dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat. (Mathalib Ulin Nuha, 5/257).
Itu artinya tak ada kewajiban bagi suami istri pribadi berkumpul bersama, bisa juga sehabis menikah kemudian berpisah untuk melaksanakan pendidikan masing-masing.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلم يأت الشرع بتأقيت معين للفترة ما بين العقد والبناء (الدخلة)، وبالتالي فالمرجع في تحديده إلى العرف وما توافق عليه الزوجان
Syariat tidak memilih batas waktu tertentu sebagai rentang antara janji dengan kumpul. Karena itu, pola dalam rentang ini kembali kepada ‘urf (tradisi masyarakat) atau kesepakatan antara suami istri. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 263188)
Mahasiswa dan mahasiswi yang menikah, mereka berhak untuk menunda kumpul, sesuai kesepakatan. Baik sebab pertimbangan belajar, atau masukan dari orang renta atau sebab pertimbangan lainnya.
Bagaiman ihwal nafkah?
Dilansir dari konsultasisyariah.com, Ulama setuju bahwa suami berkewajiban memberi nafkah istrinya dengan ketentuan:1. Istri telah baligh
2. Istri tidak nusyuz.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama setuju bahwa suami wajib menafkahi isterinya jikalau isteri baligh dan tidak nusyuz (membangkang terhadap suami tanpa alasan)”.
3. Istri telah melaksanakan tamkin min nafsiha (bersedia untuk berhubungan)
Jumhur ulama – Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali – berpendapat, selama istri belum bersedia untuk melaksanakan kekerabatan tubuh atau pisah dengan suaminya sebab alasan tertentu, maka sang suami tidak berkewajiban memberi nafkah.
Dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ijab kabul dengan Aisyah dikala usia 6 tahun dan Nabi tidak menafkahinya kecuali sehabis kekerabatan tubuh di usia Aisyah 9 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan,
أن المرأة إذا سلمت نفسها إلى الزوج , على الوجه الواجب عليها , فلها عليه جميع حاجتها
Bahwa ketika perempuan telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, sebab alasan kewajiban, maka perempuan itu berhak mendapat nafkah – sebagai kewajiban bagi suaminya – untuk menutupi semua kebutuhannya. (al-Mughni, 8/195)
Demikian pula yang ditegaskan dalam Raudhatu Thalib – dengan Syarahnya – Asna al-Mathalib – Kitab Syafiiyah – ,
لا تجب النفقة بالعقد بل بالتمكين
Nafkah tidak wajib hanya sebab janji nikah, namun sebab tamkin (memungkinkan terjadi kekerabatan badan). (Asna al-Mathalib, 3/433)
Karena itu, Mahasiswa dan Mahasiswi yang melaksanakan janji nikah, kemudian mereka berpisah hingga batas waktu tertentu, nafkah masing-masing boleh tetap ditanggung orang tuanya masing-masing.
Setelah mereka kumpul, barulah kewajiban nafkah itu dibebankan ke suami.
Namun perlu diingat, solusi ini hanya untuk menghindari perbuatan zina. Bukan malah dipakai untuk main-main.
Demikian, Wallahu A'lam.
Sumber http://www.wajibbaca.com
Buat lebih berguna, kongsi: