HUKUM BEROBAT KE DOKTER ATAU TABIB KAFIR (NON-MUSLIM)
Bagaimana aturan seorang muslim yang berobat ke dokter, tabib, mahir akunpunktur Budha, atau dukun yang non muslim atau kafir, apakah boleh? Kalau boleh apakah mubah, makruh atau sunnah? Ataukah haram?
Assalamualaikum pak ustadz, saya mau tanya perihal :
1. apa betul kalau kita berobat ke spesialis pengobatan Akupuntur yang sudah berhasil menyembuhkan banyak penyakit disebut menggadaikan aqidah hanya alasannya dia ini seorang pemeluk agama lain?
Keponakan saya usia 15 tahun menderita penyakit otak dan syaraf, diakibatkan dari kejang-kejang semenjak usia 3 tahun. Ayahnya sangat fanatik, dia menolak pengobatan ke dokter dan mahir pengobatan yang non muslim. Ayahnya hanya percaya kepada ustadz dan haji/kyai yang berprofesi mahir pengobatan yang cara pengobatannya berdasarkan saya agak ajaib ibarat menyembelih ayam dan kambing, menanam kepala ayam, dan yang membosankan ujung-ujungnya keponakan saya dibilang ada yang merasuki. Alhasil sampai kini keponakan saya tidak ada perubahan.
TOPIK KONSULTASI ISLAM
Saya tahu persis alasannya anak saya pernah berobat disana. Banyak pasien muslim yang berobat disana. Pasien dari luar negeri pun ada. Saya kasihan pada keponakan saya dan ibunya (ibunya yaitu adik saya). Saya tahu persis perasaannya alasannya saya pun punya anak dengan kekurangan. Saya sudah pernah berdebat dengan ayahnya, dia tetap kukuh bahwa jikalau dia membawa anaknya berobat disana sama dengan menggadaikan aqidahnya. Saya agak tersinggung alasannya secara tidak eksklusif menuduh saya pernah menggadaikan aqidah alasannya pernah berobat disana. Dia mengancam istrinya apabila nekad ingin berobat kesana akan dijatuhkan talak.
2. Bagaimana dengan dilema itu pak ustadz? Bukankah anak yaitu titipan Allah, yang harus diurus dengan sebaik-baiknya? Bukankah hak anak untuk sehat yaitu kewajiban orangtuanya untuk berusaha?
3. Saya tahu saya tidak punya hak untuk tetapkan alasannya saya bukan orangtuanya, tapi apa salah jikalau saya ingin meluruskan pandangan yang keliru? Karena ini menyangkut nyawa anak. Terimakasih sebelumnya atas klarifikasi pak ustadz. Wassalamualaikun.
JAWABAN
Bagaimana aturan seorang muslim yang berobat ke dokter, tabib, mahir akunpunktur Budha, atau dukun yang non muslim atau kafir, apakah boleh? Kalau boleh apakah mubah, makruh atau sunnah? Ataukah haram?
Assalamualaikum pak ustadz, saya mau tanya perihal :
1. apa betul kalau kita berobat ke spesialis pengobatan Akupuntur yang sudah berhasil menyembuhkan banyak penyakit disebut menggadaikan aqidah hanya alasannya dia ini seorang pemeluk agama lain?
Keponakan saya usia 15 tahun menderita penyakit otak dan syaraf, diakibatkan dari kejang-kejang semenjak usia 3 tahun. Ayahnya sangat fanatik, dia menolak pengobatan ke dokter dan mahir pengobatan yang non muslim. Ayahnya hanya percaya kepada ustadz dan haji/kyai yang berprofesi mahir pengobatan yang cara pengobatannya berdasarkan saya agak ajaib ibarat menyembelih ayam dan kambing, menanam kepala ayam, dan yang membosankan ujung-ujungnya keponakan saya dibilang ada yang merasuki. Alhasil sampai kini keponakan saya tidak ada perubahan.
TOPIK KONSULTASI ISLAM
- HUKUM BEROBAT KE DOKTER ATAU TABIB KAFIR (NON-MUSLIM)
- WARISAN WANITA TANPA ANAK DAN WASIAT
- CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM
Saya tahu persis alasannya anak saya pernah berobat disana. Banyak pasien muslim yang berobat disana. Pasien dari luar negeri pun ada. Saya kasihan pada keponakan saya dan ibunya (ibunya yaitu adik saya). Saya tahu persis perasaannya alasannya saya pun punya anak dengan kekurangan. Saya sudah pernah berdebat dengan ayahnya, dia tetap kukuh bahwa jikalau dia membawa anaknya berobat disana sama dengan menggadaikan aqidahnya. Saya agak tersinggung alasannya secara tidak eksklusif menuduh saya pernah menggadaikan aqidah alasannya pernah berobat disana. Dia mengancam istrinya apabila nekad ingin berobat kesana akan dijatuhkan talak.
2. Bagaimana dengan dilema itu pak ustadz? Bukankah anak yaitu titipan Allah, yang harus diurus dengan sebaik-baiknya? Bukankah hak anak untuk sehat yaitu kewajiban orangtuanya untuk berusaha?
3. Saya tahu saya tidak punya hak untuk tetapkan alasannya saya bukan orangtuanya, tapi apa salah jikalau saya ingin meluruskan pandangan yang keliru? Karena ini menyangkut nyawa anak. Terimakasih sebelumnya atas klarifikasi pak ustadz. Wassalamualaikun.
JAWABAN
1. Tidak benar. Seorang muslim memang dianjurkan untuk berobat ke sesama muslim dengan prioritas berdasar sesama jenis kelamin contohnya pasien perempuan idealnya berobat ke dokter perempuan yang muslim, kalau tidak ada berobat ke dokter laki-laki muslim. Begitu juga seorang pasien lelaki dianjurkan berobat ke dokter laki-laki, kalau tidak ada ke dokter perempuan. Namun kalau tidak ada dokter atau tabib muslim yang cocok, maka ke dokter / tabib non-muslim dibolehkan.
Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويجوز استيصاف الطبيب الكافر واعتماد وصفه كما صرح به الأصحاب على دخول الكافر الحرم
Artinya: Boleh berobat pada tabid (dokter) yang kafir (non-muslim) ...
Al-Khadimi dalam Bariqoh Mahmudiyah 2/166 bahkan beropini bolehnya berobat pada orang kafir secara mutlak:
لا فرق بين كون الطبيب عادلاً وفاسقاً، بل مؤمناً وكافراً، بعد أن سبق ظن المريض إلى صدقه وحذاقته
Artinya: Tidak ada bedanya antara dokter yang adil atau fasiq, antara dokter yang muslim atau kafir, asalkan pasien percaya pada reputasinya.
2. Anda sanggup berusaha maksimal untuk meyakinkan ayahnya, tapi bagaimanapun itu hak si ayah untuk mengurus dan mengobati si anak.
3. Untuk meluruskan pandangannya yang keliru, sebaiknya anda meminjam tangan atau meminta tolong pada orang lain yang dihormati oleh si ayah.
Si ayah sepertinya sosok individu temperamental. Terhadap figur ibarat itu sebaiknya anda tidak frontal memberi nasihat alasannya dia sangat tidak suka dinasihati alasannya itu akan sangat menyinggung martabatnya. Lebih baik gunakan cara ibarat disebut di poin 3. Atau anda meminta maaf terlebih dahulu padanya sebelum memberi saran.
HUKUM BEROBAT
Terlepas dari itu semua, perlu juga diketahui bahwa berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويسن للمريض التداوي، لخبر: «إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء، غير المحرَّم
Artinya: Sunnah bagi orang sakit untuk berobat berdasarkan hadis hasan sahih riwayat Tirmidzi Nabi bersabda, "Allah tidak meletakkan penyakit kecuali dengan obatnya selain yang diharamkan."
Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk, hlm. 5/95 menyatakan:
إن ترك التداوي توكلاً، فهو فضيلة
Artinya: Tidak berobat alasannya tawakal itu keutamaan.
Al-Buhuti dalam Kasyaful Qinak, hlm. 2/85 menyatakan:
ترك الدواء أفضل؛ لأنه أقرب إلى التوكل. ولا يجب التداوي ولو ظن نفعه، لكن يجوز اتفاقاً، ولا ينافي التوكل،
Artinya: Tidak berobat itu lebih utama alasannya lebih mendekati pada tawakal. Berobat hukumnya tidak wajib walau diperkirakan akan bermanfaat akan tetapi boleh berdasarkan janji ulama dan hal itu tidak meniadakan tawakal.
Baca juga: Syariah Islam
______________________
WARISAN WANITA TANPA ANAK DAN WASIAT
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya ingin bertanya mengenai warisan dari seorang istri inisial A yang tidak memiliki anak.
Saya yaitu seorang perempuan dan merupakan anak angkat, tetapi masih terikat korelasi darah. Karena saya yaitu sepupunya A, dari pihak ibunya A.
A meninggal pada tahun 2013 meninggalkan seorang suami inisial B. Masing-masing keluarga A dan B yaitu keluarga besar.
A memiliki 9 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. A merupakan anak tertua, memiliki adik perempuan 5 orang dan adik laki-laki 4 orang. Seorang adik laki-laki telah meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, tanpa istri, alasannya sudah bercerai.
Sedangkan B memiliki 11 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. B memiliki 10 orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki. Sebagai catatan, 2 saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki telah meninggal dunia. B kini ini yaitu seorang pensiunan BUMN dengan profesi pelaut, sedangkan A semasa hidup tidak bekerja.
Sebelum A meninggal dunia, A berwasiat kepada B, keluarganya dan disaksikan oleh saya. Isi wasiatnya yaitu rumah yang kami tempati dijual dan pembagiannya 1/3 untuk B, 1/3 untuk saudara kandungnya dan 1/3 lagi untuk diinfakkan. Yang 1/3 untuk B dibelikan rumah yang nantinya untuk saya.
Setelah A meninggal dunia, keluarga kandung A menyampaikan bahwa pembelian tanah dan pembangunan rumah tersebut menggunakan uang orangtua A. Semasa hidup A juga pernah menyampaikan hal yang sama. Di sini, B berkeberatan, alasannya berpikir bahwa mustahil keseluruhan uang orangtua A, alasannya B punya penghasilan. Sebagai catatan, pada ketika pembangunan rumah, B tidak ikut serta alasannya sedang berlayar, dan komunikasi pada masa itu (sekitar tahun 1992 atau 1993) belum semudah sekarang.
Pada jadinya rumah dan tanah tersebut dijual B, lalu diberikan 1/3 utk saudara kandung A, pembagian ini diserahkan kepada salah seorang adik A yang lalu diteruskan ke saudara A yang lain. Oleh adik-adik A, pembagian itu dibagi rata. Sisa 2/3 lagi masih dipegang B.
Kemudian B membeli rumah dengan harga 1/3 dari pembagian tersebut. Dan sebagian dari 1/3 uang itu, dibelikan mobil, sisanya ditabung oleh B.
Rumah yang dibeli B tersebut lalu dihibahkan kepada saya, anak angkatnya.
Adik-adik A mulai menanyakan kepada saya apakah sudah dijalankan 1/3 untuk diinfakkan itu.
Saya khawatir, bila B meninggal dunia, ada bab pihak keluarga B yang tidak akan didapatkan mereka.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Bagaimana sesungguhnya pembagian warisan ini terutama untuk saudara kandung A dan B berdasarkan Islam, ketika tidak diketahui persis berapa yang merupakan bab A ataupun B dalam pembangunan rumah tersebut.
2. Apakah benar wasiat yang dipesankan A itu
3. Dan apakah wajib menjalankan wasiat tersebut
4. Adakah aturan dalam menghibahkan sesuatu. Yang saya dengar dihentikan lebih dari separuh.
5. Apakah rumah yang dihibahkan kepada saya tersebut benar dalam Islam
6. Adakah harta bersama dalam Islam, dan bagaimana batasannya.
7. Bila istri bekerja, apakah penghasilan istri disebut harta bersama atau tetap disebut harta istri
8. Saya pernah membaca harus dipisahkan harta suami dan harta istri. Jadi, ketika salah satu meninggal dunia, maka terperinci pembagian warisannya.
Misal : dalam membangun rumah seorang suami dibantu istri yang bekerja, misal dengan perbandingan suami 80% sedangkan istri 20%. Ketika suami meninggal dunia, maka pembagian tersebut yaitu 80% uang penjualan rumah dibagikan ke mahir waris, yang 20% tetap merupakan bab istri. Benarkah hal ini???
Terima kasih atas derma permasalahan ini.
JAWABAN
1. Pertama-tama perlu diketahui bahwa seorang yang wafat dihentikan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 kecuali atas persetujuan para mahir waris yang berhak, sedang yang 2/3 harus menjadi harta warisan dan dibagikan kepada mahir waris yang berhak. Baca detail: Wasiat dalam Islam
Kedua, adapun mahir waris yang berhak mendapat warisan dalam kasus ini ada tiga yaitu:
(a) suami mendapat 1/2 = 3/6
(b) ibu mendapat 1/6 = 1/6
(c) ayah mendapat sisanya yakni 2/6
Sedangkan mahir waris lain yakni saudara kandung A tidak mendapat warisan apapun alasannya terhalang oleh adanya Bapak si A. Adapun saudara kandung B tidak mendapat warisan alasannya B masih hidup.
2. Wasiat yang dibentuk A tidak benar. A dihentikan mewasiatkan seluruh hartanya. Ia hanya boleh mewasiatkan maksimal 1/3 dari keseluruhan hartanya dan wasiat hanya boleh ditujukan kepada bukan mahir waris contohnya kepada anda sebagai anak angkat. Jadi, wasiat A untuk anda itu sah asal tidak lebih dari 1/3 dari total harta A.
3. Wajib dilaksanakan asal tidak lebih dari 1/3 Baca detail: Wasiat dalam Islam
4. Kalau hibah tidak ada batasan maksimal atau minimal. Baca detail: Hibah dalam Islam
5. Kalau hibah dari orang yang hidup maka dibenarkan. Sedangkan pemberian dari orang yang mati namanya wasiat bukan hibah. Dan wasiat ada aturan dan syaratnya.
6. Harta bersama suami-istri dalam Islam itu gres terjadi apabila pada harta tersebut memang ada saham kedua belah pihak. Baca detail: Harta Gono gini dalam Islam
7. Tetap disebut harta istri.
8. Betul.
Baca detail: Hukum Waris Islam
Sumber https://www.alkhoirot.net
Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويجوز استيصاف الطبيب الكافر واعتماد وصفه كما صرح به الأصحاب على دخول الكافر الحرم
Artinya: Boleh berobat pada tabid (dokter) yang kafir (non-muslim) ...
Al-Khadimi dalam Bariqoh Mahmudiyah 2/166 bahkan beropini bolehnya berobat pada orang kafir secara mutlak:
لا فرق بين كون الطبيب عادلاً وفاسقاً، بل مؤمناً وكافراً، بعد أن سبق ظن المريض إلى صدقه وحذاقته
Artinya: Tidak ada bedanya antara dokter yang adil atau fasiq, antara dokter yang muslim atau kafir, asalkan pasien percaya pada reputasinya.
2. Anda sanggup berusaha maksimal untuk meyakinkan ayahnya, tapi bagaimanapun itu hak si ayah untuk mengurus dan mengobati si anak.
3. Untuk meluruskan pandangannya yang keliru, sebaiknya anda meminjam tangan atau meminta tolong pada orang lain yang dihormati oleh si ayah.
Si ayah sepertinya sosok individu temperamental. Terhadap figur ibarat itu sebaiknya anda tidak frontal memberi nasihat alasannya dia sangat tidak suka dinasihati alasannya itu akan sangat menyinggung martabatnya. Lebih baik gunakan cara ibarat disebut di poin 3. Atau anda meminta maaf terlebih dahulu padanya sebelum memberi saran.
HUKUM BEROBAT
Terlepas dari itu semua, perlu juga diketahui bahwa berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Khatib Al-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaj, hlm. 4/298 menyatakan:
ويسن للمريض التداوي، لخبر: «إن الله لم يضع داء إلا وضع له دواء، غير المحرَّم
Artinya: Sunnah bagi orang sakit untuk berobat berdasarkan hadis hasan sahih riwayat Tirmidzi Nabi bersabda, "Allah tidak meletakkan penyakit kecuali dengan obatnya selain yang diharamkan."
Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk, hlm. 5/95 menyatakan:
إن ترك التداوي توكلاً، فهو فضيلة
Artinya: Tidak berobat alasannya tawakal itu keutamaan.
Al-Buhuti dalam Kasyaful Qinak, hlm. 2/85 menyatakan:
ترك الدواء أفضل؛ لأنه أقرب إلى التوكل. ولا يجب التداوي ولو ظن نفعه، لكن يجوز اتفاقاً، ولا ينافي التوكل،
Artinya: Tidak berobat itu lebih utama alasannya lebih mendekati pada tawakal. Berobat hukumnya tidak wajib walau diperkirakan akan bermanfaat akan tetapi boleh berdasarkan janji ulama dan hal itu tidak meniadakan tawakal.
Baca juga: Syariah Islam
______________________
WARISAN WANITA TANPA ANAK DAN WASIAT
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya ingin bertanya mengenai warisan dari seorang istri inisial A yang tidak memiliki anak.
Saya yaitu seorang perempuan dan merupakan anak angkat, tetapi masih terikat korelasi darah. Karena saya yaitu sepupunya A, dari pihak ibunya A.
A meninggal pada tahun 2013 meninggalkan seorang suami inisial B. Masing-masing keluarga A dan B yaitu keluarga besar.
A memiliki 9 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. A merupakan anak tertua, memiliki adik perempuan 5 orang dan adik laki-laki 4 orang. Seorang adik laki-laki telah meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, tanpa istri, alasannya sudah bercerai.
Sedangkan B memiliki 11 saudara kandung, kedua orangtua, kakek nenek sudah meninggal dunia. B memiliki 10 orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki. Sebagai catatan, 2 saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki telah meninggal dunia. B kini ini yaitu seorang pensiunan BUMN dengan profesi pelaut, sedangkan A semasa hidup tidak bekerja.
Sebelum A meninggal dunia, A berwasiat kepada B, keluarganya dan disaksikan oleh saya. Isi wasiatnya yaitu rumah yang kami tempati dijual dan pembagiannya 1/3 untuk B, 1/3 untuk saudara kandungnya dan 1/3 lagi untuk diinfakkan. Yang 1/3 untuk B dibelikan rumah yang nantinya untuk saya.
Setelah A meninggal dunia, keluarga kandung A menyampaikan bahwa pembelian tanah dan pembangunan rumah tersebut menggunakan uang orangtua A. Semasa hidup A juga pernah menyampaikan hal yang sama. Di sini, B berkeberatan, alasannya berpikir bahwa mustahil keseluruhan uang orangtua A, alasannya B punya penghasilan. Sebagai catatan, pada ketika pembangunan rumah, B tidak ikut serta alasannya sedang berlayar, dan komunikasi pada masa itu (sekitar tahun 1992 atau 1993) belum semudah sekarang.
Pada jadinya rumah dan tanah tersebut dijual B, lalu diberikan 1/3 utk saudara kandung A, pembagian ini diserahkan kepada salah seorang adik A yang lalu diteruskan ke saudara A yang lain. Oleh adik-adik A, pembagian itu dibagi rata. Sisa 2/3 lagi masih dipegang B.
Kemudian B membeli rumah dengan harga 1/3 dari pembagian tersebut. Dan sebagian dari 1/3 uang itu, dibelikan mobil, sisanya ditabung oleh B.
Rumah yang dibeli B tersebut lalu dihibahkan kepada saya, anak angkatnya.
Adik-adik A mulai menanyakan kepada saya apakah sudah dijalankan 1/3 untuk diinfakkan itu.
Saya khawatir, bila B meninggal dunia, ada bab pihak keluarga B yang tidak akan didapatkan mereka.
Yang menjadi pertanyaan saya :
1. Bagaimana sesungguhnya pembagian warisan ini terutama untuk saudara kandung A dan B berdasarkan Islam, ketika tidak diketahui persis berapa yang merupakan bab A ataupun B dalam pembangunan rumah tersebut.
2. Apakah benar wasiat yang dipesankan A itu
3. Dan apakah wajib menjalankan wasiat tersebut
4. Adakah aturan dalam menghibahkan sesuatu. Yang saya dengar dihentikan lebih dari separuh.
5. Apakah rumah yang dihibahkan kepada saya tersebut benar dalam Islam
6. Adakah harta bersama dalam Islam, dan bagaimana batasannya.
7. Bila istri bekerja, apakah penghasilan istri disebut harta bersama atau tetap disebut harta istri
8. Saya pernah membaca harus dipisahkan harta suami dan harta istri. Jadi, ketika salah satu meninggal dunia, maka terperinci pembagian warisannya.
Misal : dalam membangun rumah seorang suami dibantu istri yang bekerja, misal dengan perbandingan suami 80% sedangkan istri 20%. Ketika suami meninggal dunia, maka pembagian tersebut yaitu 80% uang penjualan rumah dibagikan ke mahir waris, yang 20% tetap merupakan bab istri. Benarkah hal ini???
Terima kasih atas derma permasalahan ini.
JAWABAN
1. Pertama-tama perlu diketahui bahwa seorang yang wafat dihentikan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 kecuali atas persetujuan para mahir waris yang berhak, sedang yang 2/3 harus menjadi harta warisan dan dibagikan kepada mahir waris yang berhak. Baca detail: Wasiat dalam Islam
Kedua, adapun mahir waris yang berhak mendapat warisan dalam kasus ini ada tiga yaitu:
(a) suami mendapat 1/2 = 3/6
(b) ibu mendapat 1/6 = 1/6
(c) ayah mendapat sisanya yakni 2/6
Sedangkan mahir waris lain yakni saudara kandung A tidak mendapat warisan apapun alasannya terhalang oleh adanya Bapak si A. Adapun saudara kandung B tidak mendapat warisan alasannya B masih hidup.
2. Wasiat yang dibentuk A tidak benar. A dihentikan mewasiatkan seluruh hartanya. Ia hanya boleh mewasiatkan maksimal 1/3 dari keseluruhan hartanya dan wasiat hanya boleh ditujukan kepada bukan mahir waris contohnya kepada anda sebagai anak angkat. Jadi, wasiat A untuk anda itu sah asal tidak lebih dari 1/3 dari total harta A.
3. Wajib dilaksanakan asal tidak lebih dari 1/3 Baca detail: Wasiat dalam Islam
4. Kalau hibah tidak ada batasan maksimal atau minimal. Baca detail: Hibah dalam Islam
5. Kalau hibah dari orang yang hidup maka dibenarkan. Sedangkan pemberian dari orang yang mati namanya wasiat bukan hibah. Dan wasiat ada aturan dan syaratnya.
6. Harta bersama suami-istri dalam Islam itu gres terjadi apabila pada harta tersebut memang ada saham kedua belah pihak. Baca detail: Harta Gono gini dalam Islam
7. Tetap disebut harta istri.
8. Betul.
Baca detail: Hukum Waris Islam
Sumber https://www.alkhoirot.net
Buat lebih berguna, kongsi: