أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
" Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan hingga membuat hal-hal baru. Karena kasus yang paling buruk ialah membuat hal gres . dan setiap perbuatan yang gres itu ialah bid'ah. Dan semua bid'ah itu sesat."
Mengkaji bid`ah sama artinya dengan mengkaji hadits ini, hadits yang sering dijadikan andalan bagi sebagian orang untuk saling menuduh bid`ah dan melarang segala bentuk hal gres yang tidak dilakukan di zaman Rasul. Yah ..tak heran lantaran kalau dilihat sepintas hadits ini menyatakan bahwa semua hal gres ( bid’ah ) ialah sesat. Maka banyak orang menganggap bahwa untuk menjadi seorang islam yang tha`at maka dia harus mempunyai sifat alergi pada hal-hal baru. Dan pandangan menyerupai ini sayangnya bukan hanya dilontarkan oleh orang-orang yang membenci islam, bahkan mereka yang mengaku sebagai pembela islam banyak yang melontarkan pendapat ini. Saking alerginya mereka dengan hal baru, setiap ada hal-hal yang mereka anggap tak pernah ada di zaman rasul, tak segan-segan mereka nyatakan sebagai bid`ah. Maulid bid`ah, Tahlilan bid`ah, Shalawat Badr bid`ah, bid`ah, bid`ah dan bid`ah.. yang lebih mengherankan diantara mereka masih ada yang menyatakan bahwa speaker, Tape, Radio hingga celana panjang sebagai bid`ah yang menyesatkan. Maka lengkaplah sudah titel jumud dan kolot disandang oleh umat islam. Herannya ulama-ulama menyerupai ini merasa gembira dengan titel kolot ini merasa terhormat dengan keterasingannya dan pendapat-pendapatnya yang syadz(asing). Dan menyangka merekalah para ghuraba` (orang-orang asing) yang disebut Rasul dalam haditsnya :
إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبيا . فطوبى للغرباء
“ Islam dimulai dalam keterasingan dan akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”
Akan tetapi lupa sabda Rasul :
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, kalau kalian melihat kontradiksi maka ikutilah kelompok terbesar”
mereka merasa bahwa dirinya telah membela islam padahal lantaran sebabnya umat islam terpecah saling tuduh bid`ah satu sama lain dan mereka merasa telah menyeru kepada islam padahal bahu-membahu mereka membuat orang lari dari islam.
Bukan ini yang dimaksud Rasul dalam haditsnya, justru dia menganjurkan umatnya untuk membuat inisiatif dan bersikap kreatif dalam melaksanakan kebaikan(1), Rasulullah saw bersabda dalam hadits lain :
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء (رواه مسلم )
“Barangsiapa yang membuat satu gagasan yang baik dalam islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu gagasan yang buruk dalam islam, maka dia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”
Atas dasar inilah para sahabat, thabiin dan para ulama salaf berani untuk membuat hal-hal gres dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasul, tentunya sesudah melaksanakan pertimbangan yang sangat matang dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dalam Islam.
Khalifah Abu Bakar berani memerangi mereka yang menolak zakat, dan mengumpulkan al Quran, Sayidina Umar yang mengumpulkan orang untuk shalat tarawih berjama`ah, menerangi masjid dengan lampu-lampu dan melaksanakan banyak hal gres dalam kepemerintahanya. Sayidina Utsman yang membukukan Al Quran, dan menggagas inspirasi untuk melaksanakan dua adzan dalam shalat jum`at. Pemberian titik, tanda juz,waqaf, dan harakat dalam Al Alquran yang gres dilakukan di zaman dinasti Umayah, pembukuan dan pengkodefisian hadits, pembukuan cabang-cabang ilmu syari`ah mulai dari nahwu, Fiqh, tafsir, Ushul fiqh, Balaghah, dan sebagainya. Pendirian menara, madrasah-madrasah, perpustakaan Islam. Perenovasian Ka`bah, dan ekspansi Masjid Nabawi. Dan masih banyak lagi hal gres yang dilakukan para ulama untuk kemajuan Islam sehingga Islam menjadi sentra peradaban pada masanya. Dan tak ada satupun dari kita yang menganggap hal yang mereka lakukan sebagai bid`ah, justru kita semua setuju bahwa apa yang mereka lakukan ialah jasa yang sangat besar artinya bagi umat islam. Mereka bukan tidak pernah mendengar bahwa Rasul pernah bersabda بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ كُلُّ (setiap bid`ah ialah sesat ). Justru mereka yang paling mengetahui mengenai maksud bid`ah, dalam perkataan Rasul tersebut sehingga mereka berani untuk melaksanakan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh rasul.
Bid`ah ???
Selain kita harus mengetahui mengenai ancaman bid`ah, ada hal lain yang tak kalah penting untuk diketahui yaitu pengertian bid`ah. Banyak orang yang saling tuduh bid`ah lantaran perbedaan cara ibadah padahal yang mereka tuduh bid`ah bahu-membahu ialah perbedaan madzhab, atau perbedaan ulama dalam duduk kasus fiqhiyah. Seperti duduk kasus terjemah khutbah, qunut, menggerakan jari dalam tahiyyat, bilangan tarawih dll. Ada juga yang begitu tekun melaksanakan sesuatu yang dia anggap ibadah, tapi pada kenyataanya apa yang dia lakukan ialah bid`ah yang perlu dijauhi. Untuk menghindari hal-hal menyerupai ini kita harus mengetahui apa itu bid`ah?.
Jika kata bid`ah disebut, maka yang dimaksud sanggup dua kemungkinan. Yang pertama ialah bid`ah lughowiah (secara bahasa) atau bid`ah syar`iyah (secara syari`at) (2).
Bid`ah lughowiah
Yang dimaksud dengan bid`ah secara bahasa ialah setiap hal gres yang tidak diketemukan di zaman Rasul baik berupa hal baik atau hal yang buruk, berafiliasi dengan hal duniawi menyerupai alat-alat komunikasi dan transportasi modern atau berafiliasi dengan duduk kasus agama menyerupai pembukuan Al Quran, Hadits dll. Semuanya sanggup dikatakan bid`ah kalau dilihat dari segi bahasa.
Karena memang kata bid`ah sendiri secara etimologi ialah hal yang gres yang belum pernah ada sebelumnya.
Oleh lantaran itulah Sayidina Umar berkata mengenai shalat tarawih berjamaah نعمت البدعة هذه (Inilah sebaik-baiknya bid`ah)(3). Yang dimaksud Sayidina Umar ialah bid`ah secara bahasa lantaran di zaman Rasul para sahabat melaksanakan shalat tarawih sendiri-sendiri. Kalau dilihat dari segi ini maka kata bid`ah tidak selalu berkonotasi negatif, terkadang baik dan terkadang jelek.
Akan tetapi dalam penerapannya kalau lafadz bid`ah disebut secara mutlaq tanpa pelengkap maka yang dimaksud ialah bid`ah yang tercela (bid`ah syar`iyah). lain halnya kalau kata bid`ah tersebut disandingkan dengan kata lain menyerupai perkataan “bid`ah hasanah” atau lainnya, maka barulah yang dimaksud ialah bid`ah dari segi bahasa(4).
Bid`ah syar`iyah
Jika dipandang dari segi syari`at maka yang dimaksud bid`ah ialah semua hal gres yang bertentangan dengan syari`at. Jelas kalau dipandang dari segi ini maka bid`ah sama artinya dengan kesesatan.
Perlu digaris bawahi bahwa kalimat ”bertentangan dengan syariat” maksudnya bukan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, lantaran terkadang Rasulullah meninggalkan sesuatu walaupun sangat ingin melakukanya lantaran takut akan memberatkan umatnya atau alasan lainnya(5). Akan tetapi maksudnya ialah perbuatan atau keyakinan yang menyalahi aturan atau keyakinan yang telah ada, atau tidak mempunyai landasan aturan baik secara umum atau secara parsial, kemudian diklaim sebagai pemikiran agama (6), menyerupai keyakinan pluralitas beragama (menganggap semua agama sama), membuat hukum-hukum gres tanpa dasar, dll.
Secara sederhana Ustadz Muhib menerangkan bahwa pengertian bid`ah syar`iyah ialah segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan penggalan dari pemikiran Islam, dikesankan seperti penggalan dari pemikiran Islam, menyerupai membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain.
Bid`ah inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam perkataanya كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (setiap bid`ah ialah sesat)
Pembagian bid`ah
Jika bid`ah ditinjau dari segi bahasa maka ulama mempunyai dua jenis pembagian.
Yang pertama yang membagi bid`ah menjadi dua macam, ini menyerupai apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi`i, Imam Nawawi dan imam-imam lainnya , yaitu :
1. Bid`ah Dholalah, yaitu hal gres yang bertentangan dengan Al Quran, Hadits atau Ijma` (kesepakatan ulama). Seperti Shalat shubuh tiga raka`at atau merubah lafadz-lafadz adzan dll.
2. Bid`ah Maqbulah (diterima), yaitu hal gres yang berisi kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari`at, maka ini tidak ada khilaf mengenai diperbolehkanya. Seperti shalat tarawih berjamaah yang merupakan inisiatif Sayidina Umar.
Yang kedua ialah ulama yang membagi bid`ah menjadi lima macam, Pembagian ini dipopulerkan oleh Imam Izuddin bin Abdus Salam dan banyak dinukil dalam kitab-kitab mutaakhirin, Yaitu :
1. wajib, menyerupai berguru ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu) untuk memahami Al Alquran dan hadits.
2. haram, menyerupai Madzhab Qadiriyah, dll.
3. Sunnah, menyerupai membangun forum pendidikan, dan shalat tarawih berjamaah.
4. mubah, menyerupai berjabat tangan sesudah shalat.
5. makruh, menyerupai menghiasi masjid atau Al quran.
Metode yang dipakai oleh Imam `Izuddin dalam penggolongan ini ialah dengan meninjau pada kaidah aturan yang telah ada. Jika hal gres tersebut tercakup dalam kaidah wajib maka hukumnya wajib, kalau masuk kaidah sunnah maka hukumnya sunnah, dan seterusnya. Sebagai rujukan berguru bahasa arab kalau bertujuan untuk sanggup memahami apa yang wajib dia fahami dari syari`at maka hukumnya pun menjadi wajib.(7)
Dari keterangan diatas menjadi terang bahwa umumnya ulama tidak membeda-bedakan antara bid`ah dalam duduk kasus agama atau dalam duduk kasus dunia.
Sebagian ulama ada yang mengingkari pembagian ini dan menyatakan bahwa tidak ada bid`ah dalam agama kecuali bid`ah yang sesat, sepertiImam Syatibi dalam kitab I`tishamnya(8). Sebagian lagi menyatakan bahwa bid`ah yang diperbolehkan ialah bid`ah dalam hal keduniaan saja menyerupai membuat alat-alat gres yang belum pernah ada di zaman rasul, dll.
Akan tetapi pendapat menyerupai ini selain menyalahi pendapat sebagian besar ulama ahlu sunnah Juga menyalahi apa yang dilakukan oleh para sahabat serta thabiin. Karena di antara mereka banyak yang melaksanakan hal gres dalam agama yang tidak diajarkan Rasulullah. Seperti jamaah tarawih yang diprakarsai oleh Sayidina Umar, Adzan kedua dalam shalat jum`at yang merupakan inisiatif Sayidina Utsman, memberi titik, harakat serta tanda waqaf dan gejala lainya dalam Al Alquran yang gres dilakukan di masa dinasti Umayyah dan diakui oleh para thabiin(bahkan ada yang menyatakan bahwa orang pertama yang memberi tanda dalam al Alquran ialah Al Hajjaj bin Yusuf(9), penguasa dzolim di masa Bani Umayyah), pengkodefikasian hadits serta pembukuannya dll. Semua ialah hal gres dalam agama dan tidak pernah diajarkan Rasul. Apabila kita katakkan bahwa semua hal gres dalam agama ialah bid`ah yang menyesatkan maka berarti secara tidak eksklusif kita telah menuduh para sahabat dan thabiin telah melaksanakan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah menandakan bahwa mereka ialah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka ada yang sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh lantaran itu, sungguh tidak sanggup diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya wacana al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW
Mereka yang menyampaikan mengenai Pembagian bid`ah
Yang pertama kali membagi bid`ah ke dalam dua hal yaitu yang baik dan yang buruk, ialah Rasulullah SAW sendiri, Beliau bersabda :
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء (رواه مسلم )
“Barangsiapa yang membuat satu gagasan yang baik dalam islam, maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu gagasan yang buruk dalam islam, maka dia akan terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang melaksanakanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”
Hadits ini dengan terang mendorong kita untuk berinisiatif dengan prakarsa yang baik dan bermanfaat biar sanggup diamalkan oleh kita dan orang-orang sesudah kita, sekaligus melarang keras untuk menggagas hal yang buruk yang sanggup merugikan kita dan orang-orang sesudah kita nantinya(10). Rasulullah dalam hadits ini tidak membatasi inisiatif tersebut kepada hal-hal dunia saja. Mereka yang menyampaikan bahwa hadits ini khusus mengenai gagasan dalam urusan dunia, maka telah mengada-ngada lantaran urusan dunia kalau diamalkan tidak mendatangkan pahala atau dosa.
Sebagian mereka yang menentang pembagian bid`ah menyampaikan bahwa maksud hadits ini bukan menyerupai dzahirnya akan tetapi maksudnya ialah :
من أحيا سنة من سنة الرسول صلى الله عليه وسلم فله ثوابها وثواب من اتبعه بها
“Barang siapa yang menghidupkan sunah dari sunah Rasulullahmaka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya”
Jadi berdasarkan mereka maksud gagasan tersebut haruslah gagasan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Pendapat yang mereka olok-olokan tidak sesuai dengan keumuman lafadz yang ada dalam hadits tersebut, memang hadits tersebut tiba lantaran inisiatif salah seorang ansor untuk memperlihatkan sedekah kepada salah satu kaum arab yang tiba kepada Nabi, kemudian orang-orang mulai berdatangan untuk memperlihatkan sedekah mengikuti jejak orang anshor tersebut(11). Akan tetapi sesuai qaidah yang dijadikan patokan ialah keumuman lafadz bukan kekhususan lantaran (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب).
Mungkin pendapat menyerupai ini muncul lantaran ada sedikit persamaan lafadz antara hadits di atas dengan hadits ihyau sunnah yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi, yaitu :
أَنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِى فَإِنَّ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ يَرْضَاهَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا أخرجه الترمذي في سننه كتاب العلم
“Barang siapa yang menghidupkan satu sunah daripada sunahku yang telah mati setelahku maka baginya pahala menyerupai pahala orang yang mengamalkanya tanpa dikurangi sedikitpun, Barang siapa yang membuat bid`ah dengan bid`ah yang dholalah yang tidak diridhai Allah dan Rasulnya maka baginya dosa orang-orang yang mengamalkanya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”
Kedua hadits ini meskipun agak sama lafadznya akan tetapi terjadi dalam dua insiden berbeda. Selain itu, bahu-membahu hadits ini justru memperkuat pendapat bahwa bid`ah tidak seluruhnya menyesatkan, lantaran dalam hadits tersebut Rasul membatasi bid`ah yang dihentikan hanya kepada bid`ah dholalah saja.
Kemudian sahabat pertama yang menyatakan bahwa bid`ah tidak selalu buruk ialah Sayidina Umar yang menyampaikan saat melihat orang-orang melaksanakan shalat tarawih berjama`ah, نعمت البدعة هذه (Inilah sebaik-baiknyabid`ah). Juga perkataannya kepada Sayidina Abu Bakar saat menyarankan untuk mengumpulkan Al Quran, Sayidina Abu Bakar bertanya kepadanya “Bagaimana mungkin kau melaksanakan apa yang tidak dilakukan Rasul “ Sayidina Umar berkata “ Demi Allah Ini ialah hal yang baik “. Sedangkan penerapan pembagian bid`ah menjadi hal baik dan buruk sudah dimulai semenjak zaman Khalifah Abu Bakar dengan perbuatanya mengumpulkan Al Quran, dan penunjukkan Sayidina Umar sebagai Khalifah setelahnya, padahal Rasulullah SAW sebelum wafat tidak memperlihatkan seorangpun untuk menjadi khalifah(12).
Para Thabi`in telah menerapkan pembagian ini. Paling agungnya thabiin yang menyatakan bahwa bid`ah terbagi menjadi dua ialah Imam Syafii,beliau berkata :
المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة،... ]البيهقي بإسناده في مناقب الشافعي [
“Hal gres terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua ialah hal gres dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal gres ini tidak tercela....(13)”
Lihatlah bagaimana Imam Syafii menyatakan bahwa tidak ada khilaf sedikitpun mengenai kebolehan hal gres yang baik, ini memperlihatkan bahwa para ulama di zaman Imam Syafii hampir seluruhnya telah memilah bid`ah kepada yang baik dan yang buruk.
Masih banyak lagi ulama Ahlu sunnah yang membagi bid`ah (baik dalam agama atau selainnya), menjadi bid`ah yang sanggup diterima dan bid`ah yang ditolak. Diantaranya Imam Izudin bin Abdussalam, Imam Ghozali, Imam Nawawi, Imam Subki, Imam Suyuthi, Imam Ibn Hajar, Imam Asy Syaukhani dalam Nailul Author, Al Qostholani dalam Irsyadus saari, Az Zarqani dalam Syarah Muwatha, Al Halabi, dan masih banyak ulama lain yang mustahil disebut satu per satu(14). Rasulullah saw telah bersabda :
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, kalau kalian melihat kontradiksi maka ikutilah kelompok terbesar”
Oleh lantaran itulah, sebagian ulama mengatakan, taqlid kepada pendapat ulama yang paling banyak lebih utama daripada taqlid kepada yang lebih senior.(15)
Hadits-hadits mengenai bid`ah
Dalil andalan kaum yang mengingkari pembagian bid`ah ialah hadits riwayat Ibn Mas`ud, yaitu :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
"Dari ‘Abdullah bin Mas'ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan hingga membuat hal-hal baru. Karena kasus yang paling buruk ialah membuat hal gres . dan setiap perbuatan yang gres itu ialah bid'ah. Dan semua bid'ah itu sesat." HR. Ibnu Majah.
Secara teksual memang hadits ini seolah melarang semua jenis bid`ah, melihat bahwa Rasul dalam hadits ini menggunakan kata كُلُّ Yang artinya adalahsemua. Akan tetapi ulama berbeda pendapat mengenai ma`nanya terutama makna kalimat terakhir وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.
Pertama, Ulama menyatakan bahwa bid`ah yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah bid`ah syar`iyah, telah kita bahas bahwa memang semua bid`ah syar`iyah ialah sesat(16). Karena bid`ah syar`iyah artinya ialah bid`ah yang bertentangan dengan syariat, dengan demikian makna hadits tersebut ialah “ setiap bid`ah yang bertentangan dengan syariat ialah sesat “.
Kedua, Ada juga ulama’ yang menyampaikan bahwa kata كُلُّ بِدْعَةٍ dalam hadits di atas ialah kata umum akan tetapi dikhususkan pada sebagian hal saja (عام مخصوص)(17), yaitu bid`ah yang buruk saja ,sehingga makna dari hadits ini ialah “setiap bid’ah yang buruk itu sesat” . Karena dalam bahasa arab, kata كُلّ tidak selalu berarti seluruh, kadang mempunyai artikebanyakan atau sebagian. Pengartian menyerupai Ini ialah lughat fasih yang banyak terdapat dalam banyak ayat dan hadits diantaranya :
· Al Alquran surat Al Kahfi : 79
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
”Adapun perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan saya bertujuan merusak perahu itu, lantaran dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu “ Qs. Al Kahfi : 79
Dalam ayat ini meskipun dipakai kata كُل akan tetapi yang dimaksud ialah perahu yang cantik saja(18), oleh lantaran itulah Nabi Khidir membuat malu dalam perahu biar tidak dirampas oleh raja tersebut.
· Al Alquran surat An Naml 23
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“ Sesungguhnya saya menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu dan dia mempunyai singasana yang besar”
Ayat ini menceritakan mengenai Ratu Balqis, dalam ayat ini meskipun terdapat kata كُل akan tetapi yang dimaksud ialah sebagian saja, buktinya Ratu Balqis tidak mempunyai kerajaan Nabi Sulaiman.
· Al-Qu'an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya':30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur'an berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
"Dan Allah SWT membuat Jin dari percikan api yang menyala". QS. Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
· Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Lagipula kalau kita artikan kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ secara teksual maka seharusnya semua hal gres yang tidak ada di zaman Rasul baik yang berafiliasi dengan dunia atau yang berafiliasi dengan agama ialah haram, lantaran Rasul dalam hadits tersebut menyampaikan bid`ah secara mutlak. Akan tetapi terang ini bukan yang dimaksud oleh Rasul. Dan tidak ada seorang ulamapun yang menyatakannya.
Hadits lain yang juga sering dijadikan dalil pelarangan semua bentuk perbuatan yang tidak terdapat di zaman Rasul ialah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
"Dari 'Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melaksanakan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak" HR.Muslim.
Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat aturan gres yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur'an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai penggalan dari pemikiran agama. Oleh lantaran itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid'ah ini, yaitu :
Pertama, kalau perbuatan itu mempunyai dasar dalil-dalil syar'i yang kuat, baik yang parsial (juz'i) atau umum, maka bukan tergolong bid'ah. Namun kalau tidak ada dalil yang sanggup dibentuk sandaran, maka itulah bid'ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan pada pemikiran ulama salaf (ulama pada era l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau mempunyai landasan yang berpengaruh dari pemikiran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid'ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur'an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan gres itu tergolong bid'ah muharromah. Apabila mempunyai kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan gres itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya.
Dari uraian di atas setidaknya kita sanggup memahami, bahwa hal gres tidak selalu diidentikkan dengan kesesatan. Islam bukan agama yang kaku, akan tetapi selalu fleksibel dengan perkembangan zaman dan keadaan, Seorang mukmin hendaknya sanggup memanfaatkan keadaan dan membuat penemuan cemerlang untuk memajukan agamanya, kalau dulu para sahabat berperang dengan kuda dan pedang maka bukan berarti kita pun harus berperang dengannya. Jika dahulu Nabi berdakwah dengan ekspresi dan tulisan, bukan berarti kita tak boleh menggunakan sarana komunikasi lain dalam berdakwah. akan tetapi juga jangan ngawur dalam membuat inovasinya, semua harus dalam rel yang sesuai dengan nafas syariat, dan hal tersebut mustahil kita ketahuhi kecuali dengan berguru syariat terlebih dahulu. Jangan hingga lantaran kebodohan kita, kita dengan sembrono menuduh bid`ah suatu kaum padahal mereka ialah para andal ibadah.
Buat lebih berguna, kongsi: