Antara Cerai Khulu Dan Talak

 GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK Antara Cerai Khulu dan Talak
KONSULTASI CERAI: GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,

Yang saya hormati ustadz/ustadzah pengasuh lembaga konsultasi ini, saya bermaksud mengirimkan pertanyaan mengenai permasalahan keluarga saya, lebih khususnya menyangkut perceraian saya dengan istri sekitar 4 tahun yang lalu. Saya juga sudah mempelajari beberapa tanya-jawab dalam lembaga konsultasi ini dan menemukan beberapa pendapat yang mungkin relevan, namun saya merasa perlu menanyakan problem ini secara eksklusif kepada ustadz untuk mendapatkan klarifikasi yang lebih lengkap. Sengaja dalam klarifikasi saya selipkan nomor untuk mempermudah pertanyaan yang nanti akan saya sampaikan di belakang

TOPIK SYARIAH ISLAM
  1. GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK
  2. BOLEHKAH ISTRI PERTAMA MINTA SUAMI CERAIKAN ISTRI KEDUA?
  3. CARA KONSULTASI AGAMA

Sekitar 4 tahun yang lalu, istri saya merasa bahwa kekerabatan kami sudah tidak harmonis. Hal yang menjadi penyebabnya ialah saya yang “dingin”. Karena saya bekerja di kota yang terpisah, maka saya hanya bertemu keluarga di selesai minggu. DItambah lagi dengan kondisi fisik saya yang (saat itu) kurang mendukung kekerabatan suami istri yang ideal. Suatu saat, istri (maaf tetap saya pakai kata istri untuk mempermudah penjelasan) memberikan kepada saya bahwa ia telah mempertimbangkan untuk berpisah, dan bahwa ia telah membicarakan hal ini dengan orangtuanya, saudara-saudaranya, dan dengan konsultan. Waktu itu saya belum bisa mendapatkan bahwa kami harus berpisah, lantaran saya merasa semua yang ia keluhkan niscaya ada solusinya.

Saya sempat meminta waktu untuk memperbaiki diri, namun lantaran kekerabatan kami yang sudah canggung (terlebih setelah istri memberikan keinginan berpisah), maka upaya saya untuk memperbaiki keadaan (termasuk dengan menjalani beberapa pengobatan) tidak bisa sesuai keinginan kami. Karena saya tidak ingin istri duka berlarut-larut dan tertekan (yang saya khawatirkan akan berdampak pada kemampuannya mengasuh anak kami), dan juga lantaran saya takut bahwa kalau saya berkeras menolak justru akan menciptakan kekerabatan kami semakin jelek, istri menjadi benci pada saya, dan justru menghilangkan peluang bersatu lagi, akibatnya dengan berat hati saya mendapatkan permintaannya untuk berpisah. Saya lupa kata-kata apa yang saya gunakan waktu itu untuk menyatakan persetujuan. Seingat saya ketika itu saya tidak mengucapkan talak sharih seperti: ‘saya menceraikanmu’ atau ‘saya talak kamu’, tetapi mungkin memakai kata-kata menyerupai “ya sudah kalau memang menurutmu yang terbaik ialah kita berpisah” atau semacam itu. Saya waktu itu tidak sadar apakah kata-kata persetujuan tersebut sudah berarti talak.

Dalam pemahaman saya waktu itu, perpisahan gres akan sah secara agama maupun aturan di pengadilan agama (entah pengadilan nantinya memutuskan saya yang menalak ataupun mengabulkan somasi cerai oleh istri), dan untuk hingga ke pengadilan agama maka kedua belah pihak harus baiklah terlebih dahulu untuk melanjutkan proses ini. Waktu itu memang kami belum memutuskan cara yang digunakan untuk berpisah, apakah istri yang menggugat ataukah saya yang menceraikan. Namun akibatnya kami sepakat bahwa istri yang akan mengajukan somasi ke pengadilan agama. Pertanyaan (1) dan (2)

Ustadz, sungguh saya meratapi kebodohan saya waktu itu. Saat itu saya tidak paham ucapan-ucapan apa saja yang bisa digolongkan sebagai talak. Saya pun memahami perceraian sebagai perjanjian yang gres sah secara syariah di Pengadilan Agama (dengan adanya saksi dan hakim). Bodohnya lagi, dalam kondisi yang tertekan ketika itu, yang ada dalam pikiran saya ialah mencari cara bagaimana biar saya sanggup bermetamorfosis lebih baik menyerupai yang dibutuhkan istri – melaksanakan pengobatan, memperbaiki komunikasi, dan lain sebagainya, dan bukannya mempelajari ilmu agama yang mengatur ihwal perceraian ini.

Setelah saya menyetujui keinginan istri untuk berpisah tersebut, kami pun masih beberapa kali bekerjasama suami istri (karena berpikiran bahwa kami gres akan resmi bercerai setelah diputuskan di pengadilan. Jika nantinya pengadilan memerintahkan saya untuk mengikrarkan talak, maka dalam pikiran saya talak di pengadilan tersebut akan menjadi talak kesatu). Selama bekerjasama itu, pernah istri merasa bahwa kondisi saya sudah lebih baik. Saat itulah istri sempat ragu dan bertanya, “Apakah (proses gugatan) tidak perlu dilanjutkan?” Saat istri mengajukan pertanyaan tersebut, saya mungkin merasa arogan, merasa menang terhadap istri, timbul keinginan menantang kesungguhan istri, dan ada perasaan bahwa mungkin perceraian memang lebih baik untuk kami (terpengaruh saran seseorang bahwa dalam masalah menyerupai yang kami hadapi, mungkin lebih baik cerai dulu dan gres kemudian bersatu lagi setelah kedua pihak bisa saling mendapatkan kembali), dan akibatnya saya menjawab “Teruskan saja (prosesnya)”. Kejadian serupa berulang sebanyak satu kali lagi (total terjadi dua kali) di beberapa ahad sesudahnya. Setelah berhubungan, istri menanyakan hal yang sama dan saya ulangi dengan jawaban yang sama. Saya tidak tahu apakah ketika itu istri sudah mengajukan somasi ke pengadilan. Kalau ditanya ihwal niat saya pada waktu mengucapkan itu, mungkin bisa saya jawab bahwa saya siap untuk bercerai, namun saya tidak berniat untuk bercerai ketika itu juga melainkan setelah melalui pengadilan di kemudian hari. Pertanyaan (3) dan (4).

Akhirnya, somasi istri diproses di pengadilan dan gugatannya dikabulkan.

Pertanyaan:

1. Saat saya menyetujui seruan istri untuk bercerai (bukan seruan untuk menalak) sebagaimana dongeng yang saya sampaikan diatas, apakah berarti saya telah menjatuhkan talak satu lantaran mungkin ketika itu saya telah memakai kata-kata 'pisah' ketika menyetujuinya?

2. Ataukah yang berlaku ketika itu ialah khulu’?

3. Jika yang berlaku ialah aturan khulu’, maka seharusnya setelah saya menyetujui seruan istri tersebut, kami sudah tidak sanggup rujuk lagi, dan untuk bersatu lagi hanya sanggup dengan ijab kabul gres (maaf mohon dikoreksi kalau salah). Mohon maaf, tanpa bermaksud merasa lebih tahu, saya gres saja membaca satu pendapat bahwa begitu suami menyetujui keinginan istri untuk bercerai, maka khulu' eksklusif berlaku ketika itu juga. Namun kalau memang khulu’ eksklusif berlaku ketika itu (dan bukan di pengadilan agama), maka apakah upaya mediasi di pengadilan agama ketika somasi istri tersebut diproses masih ada artinya?

4. Jika memang jawaban untuk pertanyaan (2) ialah benar bahwa khulu’ sudah berlaku, apakah artinya kami telah melaksanakan perzinaan? Astaghfirullahal azhiim, saya sungguh takut kami telah melakukannya. Semoga Allah melindungi kami dari zina, baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadari, dan Allah mengampuni dosa kami.

5. Namun kalau jawaban pertanyaan nomor (1) ialah saya telah menjatuhkan talak satu, apakah berarti saya telah menjatuhkan talak kedua ketika meminta istri meneruskan somasi (karena kami sudah dihitung rujuk ketika bekerjasama badan), dan kemudian menjatuhkan talak ketiga ketika kali kedua saya meminta istri meneruskan gugatan? Ataukah ucapan saya biar somasi istri diteruskan ini bermakna masa yang akan datang?

6. Sebenarnya dalam masalah yang saya ceritakan diatas, kami bercerai lantaran talak ataukah lantaran khulu’? Ada berapa kali kah talak yang terjadi dalam masalah saya diatas? Apakah kami masih sanggup bersatu kembali dengan ijab kabul yang baru?

Ustad, saya sungguh meratapi kebodohan saya, dan saya sangat mengharapkan bahwa semua kebodohan yang saya alami diatas tidak hingga menjadikan jatuhnya talak tiga ataupun perzinaan. Terus terang ketika itu ilmu saya benar-benar dangkal. Saya mengira bahwa talak gres sah secara agama kalau dilakukan di pengadilan, tidak memahami ucapan-ucapan apa saja yang berarti talak, dan tidak paham mengenai aturan khulu’. Saya gres mulai banyak berguru justru beberapa bulan terakhir ini. Saya meratapi perceraian kami dan terus terang saya masih menyimpan keinginan suatu ketika bisa kembali bersatu lagi dengan mantan istri. Hingga ketika ini kami masih sama-sama sendiri, dan masih berkomunikasi dengan sangat baik lantaran kami memiliki tujuan yang sama yaitu membesarkan anak kami. Awalnya saya banyak mencari tahu mengenai perbedaan antara cerai tanggapan talak dengan cerai lantaran somasi istri, lantaran sempat mendengar pendapat beberapa teman bahwa kalau istri yang menggugat cerai maka mereka tidak sanggup bersatu kembali tanpa si istri menikah terlebih dahulu dengan orang lain (yang tampaknya merupakan salah pemahaman dengan tanggapan dari talak tiga). Namun setelah saya mempelajari lebih dalam, pasangan yang bercerai lantaran somasi istri masih sanggup bersatu kembali dengan janji baru, dan justru yang saya takutkan kini ini ialah bahwa ucapan-ucapan yang telah saya keluarkan selama berlangsungnya proses perceraian kami diatas telah menjatuhkan talak ketiga.

Mohon bantuannya, Ustad. Dan mohon maaf kalau klarifikasi saya kurang lezat diikuti. Terimakasih banyak atas semua bantuannya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu


JAWABAN GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA DAN UCAPAN TALAK

1. Karena persetujuan anda itu dalam konteks apabila istri melaksanakan gugat cerai ke Pengadilan Agama (PA), maka anda tidak menjatuhkan talak. Talak gres jatuh ketika Hakim PA mengabulkan seruan istri.

2. Yang berlaku ialah khulu' tapi khulu' yang dikabulkan oleh Hakim PA. Bukan perkataan Anda. Jadi, selama Hakim PA belum mengabulkan seruan gugat cerai istri, khulu' belum terjadi dan lantaran itu kekerabatan intim yang terjadi antara anda dan istri tidak masalah.

3. Lihat poin 1 dan 2.

4. Khulu' belum berlaku pada pertanyaan no. 2. Karena itu, kekerabatan intim anda berdua hukumnya sah.

5. Lihat poin 1.

6. Anda berdua bercerai lantaran khulu' yang diputuskan oleh Hakim PA. Oleh lantaran itu, anda berdua masih sanggup bersatu lagi dengan ijab kabul yang baru. Karena status gugat cerai atau khulu' ialah talak bain sughro yakni kedua pihak boleh rujuk kembali asal dengan ijab kabul yang baru.

Baca detail: Cerai dalam Islam

____________________________


BOLEHKAH ISTRI PERTAMA MINTA SUAMI CERAIKAN ISTRI KEDUA?

ustadz yang diberkahi Allah
saya berkeluarga semenjak 1993, dikaruniai 5 anak, alhamdulillah perjalanan rumahtangga saya kondusif tentram, bahkan sering untuk jadi pola keluarga yg lain. suami PNS , saya bekerja PNS juga. Alhamdulillah dengan demikian kebutuhan sehari hari dan pendididikan anak anak bisa tercukupi.

Th 2012 ada perempuan yg telah bersuami, menarik hati suami saya, terjalin kekerabatan diantara mereka, suami perempuan itu tahu, dan marah. Saya demkian juga. Tahun 2014 suami perempuan itu meninggal. dan kembali mereka menjalin hubungan, kemudian menikah bulan agustus 2015.

saya dan keluarga besar tentu saja shock , suami yg selama ini alim dan begitu baik pada keluarga, ternyata hingga hati berselingkuh dan menyakiti kami. kami sangat tidak baiklah dengan pernikahan itu, disamping tentu tidak ada perempuan yg mau dimadu, selama ini saya membantu mencari nafkah untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga, koq malah disakiti. ibu dari suami , mertua saya, juga sangat tidak baiklah dengan pernikahan itu. tapi hingga ketika ini suami belum menceraikan istri keduanya itu....alasannya, istri kedua tidak menuntut untuk diberi nafkah secara bahan , lantaran bekerja juga.

saya melihat banyak mudharatnya, suami dicopot dari jabatannya, jadi sering berbohong, tidak lagi aktif mengikuti pengajian yg selama ini diikuti semenjak sebelum kami menikah, kekerabatan dengan adik adiknya terang renggang, alasannya ialah adik adiknya pun tak baiklah dengan pernikahan itu, dan yg terang ibunya sudah sepuh itu merasa begitu kecewa dan sakit hati dengan poligami suami saya, kekerabatan saya dengan suamipun terang jadi tidak harmonis...

yang saya tanyakan ustadz,

1. apakah dibenarkan secara syariat apa yg telah dilakukan suami, poligami, padahal amanah satu keluarga saja belum maximal ditunaikan, dalam hal ini problem ekonomi lantaran saya masih harus membantunya mencukupi kebutuhan sehari hari,
2. dan juga kata nya istri kedua tidak dinafkahi secara materi,
3. dan poligami itu juga menyakiti hati ibunya ?
4. kalau saya menuntut ia menceraikan istri keduanya, benar atau salah berdasarkan syariat islam ?
demikian ustadz, atas perhatiannya saya ucapkan jazakallahu khoiron katsiron.

JAWABAN

1. Poligami tidak tidak boleh dalam Islam sebagaimana secara eksplisit tersebut dalam QS An-Nisa 4:3 "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga atau empat."

Namun, sekiranya takut tidak bisa berbuat adil, maka seorang laki-laki hendaknya mencukupkan diri dengan satu istri saja sebagaimana firman Allah dalam kelanjutan di atas: "Kemudian kalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja."

Yang dimaksud 'adil' dalam berpoligami berdasarkan para ulama fiqih ialah (a) sama dalam memberi nafkah lahir termasuk sandang, pangan dan papan sesuai dengan kemampuan suami; (b) sama dalam membagi hari menginap. Sama dalam jumlah waktu menginap tidak berarti harus sama dalam melaksanakan kekerabatan intim; (c) Begitu juga tidak harus sama dalam segi cinta atau rasa sayang.

2. Seluruh istri yang dinikah berhak untuk menerima nafkah bahan dan wajib bagi suami untuk melaksanakan kewajibannya. Namun lantaran itu hak bagi istri, maka boleh saja istri tidak menuntut hak tersebut. Baca: Hak dan Kewajiban Suami Istri https://doaselamatan.blogspot.com/search?q=

3. Ibu ialah sosok yang harus ditaati dan anak harus berbakti pada orang tuanya. Termasuk dalam makna berbakti ialah dengan tidak menyakiti hatinya. Kalau ibu tidak baiklah dengan pernikahan poligami anaknya, maka idealnya si anak mentaati keinginan ibunya. Baca detail: Hukum Taat Orang Tua

Namun, walaupun ibu tidak setuju, pernikahan poligami putranya tetap sah selagi memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Baca detail: Pernikahan Islam

4. Tidak ada larangan bagi Anda sebagai istri pertama meminta suami untuk menceraikan istri kedua. Namun, seruan itu jangan memaksa apalagi kalau menganggap poligami itu perbuatan yang tidak senonoh. Karena, secara syariah poligami itu halal, maka tidaklah semestinya ada yang melarang perbuatan yang dihalalkan oleh Allah. Jadi, silahkan mengajukan permohonan pada suami biar menceraikan istri kedua, tapi pada waktu yang sama dalam hati anda tetap harus mengakui bahwa poligami ialah perbuatan yang halal dan dibolehkan oleh syariah Islam.
Sumber https://www.alkhoirot.net
Buat lebih berguna, kongsi:
close