Benarkah Berwisata Ke Candi Hukumnya Haram, Hingga Dianggap Orang Itu Eksklusif Kafir


Image from pijar.net

Bagaimana aturan rekreasi, misal ke Candi?

Ada yang bilang haram, apa ya dasarnya? Berikut klarifikasi para ulama.

Pada demam isu libur mirip ini memang banyak di antara saudara-saudara kita yang berkunjung ke sektor-sektor pariwisata untuk menikmati waktu libur bersama keluarga. Pemerintah melalui iklan yang dipasang melalui selebaran atau tampilan juga menggalakkan pesona daerah.

Bukan hanya kawasan yang menampilkan eksotika alam, tapi juga bangunan-bangunan unik yang menjadi aset budaya Indonesia, contohnya candi, vihara, pura, kelenteng dan lain-lain yang pada umumnya yaitu tempat peribadatan umat non-muslim.

Pada dasarnya, aturan berwisata yaitu mubah (boleh dilakukan), kecuali bila tujuan yang dikehendaki yaitu tempat-tempat maksiat. Umat Islam justru berkewajiban mengubah kemungkaran kalau melihatnya, dengan lisan, tindakan atau hatinya.

Seperti yang dikutip oleh almanhaj.com, adapun aturan wisata ke tempat mirip tersebut di atas dibedakan menjadi dua. Jika memang di dalam tempat tersebut masih terdapat benda-benda yang dihormati oleh agama mereka, maka berdasarkan lebih banyak didominasi ulama Syafi’iyyah hukumnya haram, terlebih kalau tempat yang dikunjungi masih dipakai sebagai tempat ibadah.

Dan berdasarkan pendapat lain, mendatangi tempat rekreasi non-muslim sama saja mendatangi kemungkaran, alasannya terdapat indikasi pengalihan kekaguman umat Islam terhadap agama mereka, tempat peribadahan mereka dan ibadah mereka.

Diceritakan dalam Hadis Bukhari, 5957 bahwa Rasulullah bahkan tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau patung makhluk yang bernyawa, sebagaimana malaikat juga tidak mau memasukinya.
Berbeda ulama Mazhab Hambali, mereka menganggap bahwa aturan di atas tetap mubah alasannya berdasarkan riwayat sahabat Nabi SAW, dikisahkan bahwa Sayyidina Ali RA pernah memasuki gereja. Ulama ini memandang mubah dengan catatan selama muslim yang tiba mempunyai pendirian agama yang berpengaruh dan tidak gampang goyah imannya.

Baca Juga :

Pendapat lain

Suatu permasalahan mirip diatas juga diutarakan oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari

Alhamdulillah.

Ini yaitu perbuatan yang di dalamnya terdapat perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat Islam, di antaranya:

Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢

“Dan barang siapa memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, sebenarnya itu termasuk ketakwaan hati kepada Allah.” (Al-Hajj: 32)

Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦۗ

“Dan barang siapa memuliakan perkara-perkara yang mempunyai kehormatan di sisi Allah maka hal itu lebih baik baginya di sisi Rabb-nya.” (Al-Hajj: 30)

Allah ‘azza wa jalla memerintahkan dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam sebagai suatu bentuk ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla, dan hal itu lebih baik bagi kita di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Sedangkan tempat-tempat itu merupakan syi’ar-syi’ar kekufuran dan kesyirikan yang diagungkan serta dimuliakan oleh orang-orang kafir sebagai tandingan terhadap syi’ar-syi’ar Islam. Maka apakah pantas bagi seorang muslim yang beriman dan bertakwa untuk mengagumi dan mengunjunginya?

Bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa mirip suatu kaum maka beliau termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, dihasankan Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, dan asy-Syaikh al-Albani sebagaimana dalam Jilbabul Mar’ah al-Muslimah, hlm. 203—204, dan juga oleh Syaikhuna al-Wadi’i)

Karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perayaan atau ‘ied bagi kaum musyrikin, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Bahwa setiap tempat yang dimaksudkan sebagai tempat berkumpul, beribadah, ataupun selain ibadah, maka itu dinamakan ‘ied atau perayaan.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 300)

Makara mengunjungi tempat-tempat tersebut mirip perayaan atau ‘ied mereka, apalagi bila waktu berkunjung tersebut bertepatan dengan waktu ‘ied atau perayaan mereka.

Bertentangan dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَٱلَّذِينَ لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ

“Dan mereka hamba-hamba Allah yang beriman tidak menyaksikan kasus yang mungkar.” (Al-Furqan: 72)

Makara menghadiri/menyaksikan kasus yang mungkar bukanlah merupakan sifat orang-orang yang beriman. Sementara di tempat-tempat itu terdapat banyak sekali macam kemungkaran.

Kalaulah tidak ada kemungkaran lain selain bahwa itu yaitu tempat kesyirikan, maka itu sudah cukup untuk menghalangi hamba Allah ‘azza wa jalla yang beriman dan bertakwa untuk mengunjungi tempat tersebut.

Bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.

Paling tidak dengan pengingkaran dalam hati. Adapun mengagumi dan mengunjungi tempat-tempat tersebut merupakan satu bentuk keridhaan seseorang terhadapnya serta semakin mengokohkan keberadaan tempat-tempat tersebut sehingga menjatuhkan beliau dalam perbuatan mudahanah, yaitu bermuka bagus terhadap kemungkaran, sedangkan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

 وَدُّواْ لَوۡ تُدۡهِنُ فَيُدۡهِنُونَ ٩

“Mereka kaum musyrikin berharap kalau seandainya kau (wahai Muhammad) bermudahanah terhadap mereka, maka mereka pun akan melaksanakan hal yang sama.” (Al-Qalam: 9)

Makara Allah ‘azza wa jalla mengingatkan khalil-Nya (kekasih-Nya) yang juga merupakan peringatan terhadap seluruh umat ini untuk tidak bermuka bagus terhadap kaum musyrikin.

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata dalam Taisir al-Karimir Rahman dikala menafsirkan ayat ini, “Kamu oke dengan sebagian kemungkaran yang ada pada mereka, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun dengan cara membisu terhadap kasus yang semestinya diingkari.”

Wallahu a’lam.
Sumber http://www.wajibbaca.com
Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini:

close