PARAFRASE TULISAN ORANG DENGAN FAIR USE
Kali ini saya ingin melanjutkan pertanyaan saya yang kemarin di sini, ditambah mengenai bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat antar ustadz / pendapat seorang ustadz yang terlalu frontal (misal: dikit-dikit bilang haram, bid'ah, dihentikan dsb tanpa adanya dalil).
TOPIK KONSULTASI ISLAM
Sebagai informasi, saya sangat oke dengan tanggapan ustadz di alkhoirot.net ini, lantaran pendapatnya sangat sempurna dan masuk akal. Bahwa melaksanakan parafrase diperbolehkan berdasarkan islam asalkan memenuhi kaidah fair use. Dan islam mendapatkan keyakinan fair use ini. Yang pada intinya, seseorang penulis dihalalkan memparafrasekan sebagian artikel orang lain tanpa izin dengan mencantumkan sumbernya secara lengkap. Serta saya rasa tanggapan ini yaitu benar.
KASUS PERTAMA
Melanjutkan diskusi yang kemarin, sesudah saya bertanya menyerupai ini:
Kalau seandainya kita melaksanakan parafrase artikel orang lain, tetap berdasarkan fair use, kemudian jikalau ternyata orang tersebut tidak tulus (meskipun saya juga tidak tahu ikhlasnya orang tersebut). Apakah tetap halal melaksanakan parafrase artikel tanpa izin tetapi berdasarkan kaidah fair use meskipun orang tersebut tidak ikhlas?
Kemudian Anda menjawab sedemikian,
"Hukumnya halal walau seandainya penulis orisinil tidak ikhlas. Karena semua penulis secara universal telah menundukkan dirinya pada aturan fair use tersebut """kecuali kalau dinyatakan sebaliknya berdasarkan disclaimer yang ditulisnya""".
KASUS KEDUA
Saya beberapa waktu yang kemudian pernah bertanya kepada seseorang ustadz secara online dengan masalah yang sama. Saat itu saya menggunakan fitur live chat dalam bahasa inggris.
Setelah saya bertanya, jikalau saya terjemah ke bahasa Indonesia, kurang lebih percakapannya menyerupai ini,
Saya: "Apakah islam mendapatkan fair use?"
Dia: "Apa maksud Anda?"
Saya "Apakah islam mendapatkan fair use dalam penulisan hak cipta?"
Dia: "Apakah maksud Anda mengcopy / menyadur sebagian goresan pena orang lain?"
Saya: "Ya"
Dia menjawab: "Tidak baik mengutip sebagian goresan pena seseorang kecuali harus dengan izinnya"
Saya: "Apakah Anda pernah menulis artikel ilmiah sehingga berkata demikian dan tidak mengijinkan seseorang mengutip sebagian goresan pena orang lain tanpa izin berdasarkan kaidah fair use. Padahal tumpuan itu merupakan salah satu syarat mutlak dalam artikel ilmiah?"
Dia: "Tidak pernah.
Dia: "Tapi Anda boleh mengutip isi Al-Quran dan Hadist. Menurut anutan ulama, mengutip isi Al-Quran dan hadist diperbolehkan"
Kemudian tiba-tiba percakapan kami ditutup olehnya. Dia juga tidak mengutarakan dalil berupa ayat Al-Quran ataupun hadist apapun.
PERTANYAAN:
KASUS PERTAMA
1. Jika kata Anda, semua penulis secara universal telah menundukkan dirinya pada aturan fair use tersebut KECUALI KALAU DINYATAKAN SEBALIKNYA BERDASARKAN DISCLAIMER YANG DITULISNYA.
Apakah itu berarti kita dihentikan melaksanakan parafrase dari website yang melarang menyadur goresan pena walaupun sebagian. Padahal fair use harusnya berlaku secara universal. Intinya, apakah fair use menjadi tidak berlaku lantaran pemilik website melarangnya di disclaimer sehingga hasil parafrasenya menjadi haram?
Kali ini saya ingin melanjutkan pertanyaan saya yang kemarin di sini, ditambah mengenai bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat antar ustadz / pendapat seorang ustadz yang terlalu frontal (misal: dikit-dikit bilang haram, bid'ah, dihentikan dsb tanpa adanya dalil).
TOPIK KONSULTASI ISLAM
- PARAFRASE TULISAN ORANG DENGAN FAIR USE
- HARTA PENINGGALAN SUAMI TANPA ANAK UNTUK ISTRI DAN SAUDARA
- CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM
Sebagai informasi, saya sangat oke dengan tanggapan ustadz di alkhoirot.net ini, lantaran pendapatnya sangat sempurna dan masuk akal. Bahwa melaksanakan parafrase diperbolehkan berdasarkan islam asalkan memenuhi kaidah fair use. Dan islam mendapatkan keyakinan fair use ini. Yang pada intinya, seseorang penulis dihalalkan memparafrasekan sebagian artikel orang lain tanpa izin dengan mencantumkan sumbernya secara lengkap. Serta saya rasa tanggapan ini yaitu benar.
KASUS PERTAMA
Melanjutkan diskusi yang kemarin, sesudah saya bertanya menyerupai ini:
Kalau seandainya kita melaksanakan parafrase artikel orang lain, tetap berdasarkan fair use, kemudian jikalau ternyata orang tersebut tidak tulus (meskipun saya juga tidak tahu ikhlasnya orang tersebut). Apakah tetap halal melaksanakan parafrase artikel tanpa izin tetapi berdasarkan kaidah fair use meskipun orang tersebut tidak ikhlas?
Kemudian Anda menjawab sedemikian,
"Hukumnya halal walau seandainya penulis orisinil tidak ikhlas. Karena semua penulis secara universal telah menundukkan dirinya pada aturan fair use tersebut """kecuali kalau dinyatakan sebaliknya berdasarkan disclaimer yang ditulisnya""".
KASUS KEDUA
Saya beberapa waktu yang kemudian pernah bertanya kepada seseorang ustadz secara online dengan masalah yang sama. Saat itu saya menggunakan fitur live chat dalam bahasa inggris.
Setelah saya bertanya, jikalau saya terjemah ke bahasa Indonesia, kurang lebih percakapannya menyerupai ini,
Saya: "Apakah islam mendapatkan fair use?"
Dia: "Apa maksud Anda?"
Saya "Apakah islam mendapatkan fair use dalam penulisan hak cipta?"
Dia: "Apakah maksud Anda mengcopy / menyadur sebagian goresan pena orang lain?"
Saya: "Ya"
Dia menjawab: "Tidak baik mengutip sebagian goresan pena seseorang kecuali harus dengan izinnya"
Saya: "Apakah Anda pernah menulis artikel ilmiah sehingga berkata demikian dan tidak mengijinkan seseorang mengutip sebagian goresan pena orang lain tanpa izin berdasarkan kaidah fair use. Padahal tumpuan itu merupakan salah satu syarat mutlak dalam artikel ilmiah?"
Dia: "Tidak pernah.
Dia: "Tapi Anda boleh mengutip isi Al-Quran dan Hadist. Menurut anutan ulama, mengutip isi Al-Quran dan hadist diperbolehkan"
Kemudian tiba-tiba percakapan kami ditutup olehnya. Dia juga tidak mengutarakan dalil berupa ayat Al-Quran ataupun hadist apapun.
PERTANYAAN:
KASUS PERTAMA
1. Jika kata Anda, semua penulis secara universal telah menundukkan dirinya pada aturan fair use tersebut KECUALI KALAU DINYATAKAN SEBALIKNYA BERDASARKAN DISCLAIMER YANG DITULISNYA.
Apakah itu berarti kita dihentikan melaksanakan parafrase dari website yang melarang menyadur goresan pena walaupun sebagian. Padahal fair use harusnya berlaku secara universal. Intinya, apakah fair use menjadi tidak berlaku lantaran pemilik website melarangnya di disclaimer sehingga hasil parafrasenya menjadi haram?
2. Apabila tidak ada KETERANGAN APAPUN, termasuk larangan atau kebolehan di dalam website tersebut wacana penyaduran sesuai fair use, menyerupai di disclaimer ataupun term of use. Apakah itu berarti melaksanakan parafrase dari website tersebut berdasarkan fair use tetap diperbolehkan dan secara otomatis menjadi halal?
KASUS KEDUA
3. Bagaimana cara menyikapi pendapat ustadz semacam yang saya sebutkan di masalah kedua tadi?
Saya heran, kenapa beliau berani bilang menyerupai itu. Padahal saya rasa beliau kurang memahami mengenai fair use. Belum lagi, beliau bilang tidak pernah menciptakan artikel ilmiah sehingga tidak pernah melaksanakan pengutipan. Tapi pas menjawab pertanyaan saya, beliau kok malah mengutip / menyebut dari anutan ulama.
4. Bagaimana cara menyikapi pendapat seorang ustadz yang mengharamkan atau melarang melaksanakan sesuatu tanpa didasari dalil qur'an dan hadist?
5. Jika saya bertanya kepada beberapa ustadz dalam hal apapun, terus pendapatnya berbeda. Maka mana yang harus saya pilih?
6. Apabila ada orang awam yang ilmunya minim mengenai islam, kemudian beliau punya duduk masalah wacana halal haramnya suatu masalah dalam aturan islam. Setelah beliau bertanya kepada beberapa ustadz, ternyata jawabannya berbeda dan bertolak belakang disebabkan masalah tersebut tidak dibahas secara terang di Alquran maupun hadist, bahkan di anutan pun belum jelas.
Setelah dianalisa, beliau menentukan salah satu tanggapan dari salah seorang ustadz yang menurutnya tepat. Nah, jikalau seandainya ternyata tanggapan yang dipilihnya itu tidak benar. Berdosakah orang awam tersebut, ataukah hanya ustadz yang menyarankan saja yang berdosa, atau mungkin tidak ada yang berdosa?
Demikian ustadz. Ditunggu atas jawabannya secepatnya. Setelah terjawab nanti akan kembali saya kirim akhir email berupa pertanyaan komplemen jikalau belum terang atau kesimpulan yang sanggup saya sanggup sesudah 3 kali bertanya disini, sehingga duduk masalah yang saya hadapi ini sanggup clear semua.
Wassalamu'alaikum Wr Wb.
JAWABAN
1. Iya. Kalau beliau (penulis itu) melarang tulisannya dikutip atau di-parafrase walaupun menggunakan aturan fair use, maka hukumnya haram melakukannya. Karena, penulisan bersifat hak cipta personal. Oleh lantaran itu, aturan yang dibentuk secara personal (oleh penulis tersebut) itu lebih berpengaruh daripada yang dibentuk secara umum (aturan fair use universal).
Allah meminta insan untuk memenuhi perjanjian yang dibentuk menyerupai disebut dalam QS Al-Maidah 5:1. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa [الناس علي أشراطهم] Artinya: "Manusia itu berdasarkan syarat-syarat yang dibuat." Maknanya, transaksi antar insan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila tidak ada kesepakatan secara khusus, maka aturan umum-lah yang berlaku. Ini selagi aturan yang dibentuk itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Apabila berlawanan dengan syariat Islam, menyerupai hutang-piutang dengan riba, maka tidak perlu ditaati.
Namun demikian, seandainya memang ada penulis yang keberatan tulisannya dikutip berdasar fair use, maka perlu diminta konfirmasi padanya apakah betul beliau tahu apa itu fair use dan jelaskan maksudnya. Orang yang keberatan itu mungkin mengira akan dikutip secara verbatim seluruh artikel.
2. Iya. Otomatis menjadi halal apabila tidak ada aturan khusus dari penulis terkait, maka aturan fair use yang berlaku lantaran itu sudah menjadi tradisi dalam dunia intelektual. Dalam kaidah fiqih dikatakan [العادة محكمة] "Tradisi itu menjadi hukum." Artinya, insan boleh menundukkan diri pada tradisi yang berlaku apabila tidak berlawanan dengan syariah Islam.
3. Pendapat wacana duduk masalah agama hendaknya harus disertai dengan dalil dan tumpuan baik rujukan Al-Quran, hadits atau pendapat ulama. Tanpa diperkuat oleh rujukan, maka pendapatnya tidak sanggup dipertanggjungjawabkan secara ilmiah.
4. Lihat ustadznya dulu. Kalau ustadz sekedar sanggup pidato tanpa mempunyai basis ilmiah mendalam, maka pendapatnya tidak usah dianggap. Kalau ustadznya dikenal mempunyai reputasi sebagai orang yang andal agama dari tulisan-tulisan beliau sebelumnya, maka kita sanggup berbaik sangka bahwa ucapannya yang tanpa dalil itu mungkin saja ada dalilnya tapi tidak beliau sebutkan. Terlepas dari itu, sebaiknya anda meminta pendapat pada yang lain juga untuk konfirmasi.
5. Ambil pendapat yang mempunyai rujukan atau tumpuan pendapat ulama yang dikenal reputasinya sebagai mujtahid. Apabila tanggapan yang berbeda itu sama-sama bersandar dari pendapat ulama yang pandai tinggi, maka kita sanggup mengambil salah satu pendapat yang sesuai dengan kebutuhan kita. Baca: Talfiq dalam Islam
6. Tidak ada yang berdosa. Kalau ustadz yang berfatwa mendasarkan pendapatnya pada pendapat ulama yang mempunyai reputasi keilmuan selevel mujtahid, maka semua pendapatnya dianggap benar. Karena mereka beropini tidak berdasarkan hawa nafsu tapi berdasarkan pemahaman agama yang dimiliki. Contoh ulama mujtahid yang klasik menyerupai para ulama dari keempat madzhab fiqih yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hanbali. Contoh ulama kini menyerupai Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhaili, para Syaikh Al-Azhar Mesir, para Mufti Mesir, dan lain-lain.
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari hadits no. 6919 Nabi bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر قا
Artinya: Apabila hakim memberi putusan kemudian beliau berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala; apabila beliau memberi putusan berdasarkan ijtihadnya kemudian salah, maka ia sanggup satu pahala.
Namun tidak semua ulama ketika ini pantas disebut mujtahid. Misalnya, pendapat ulama Wahabi Arab Saudi menyerupai Bin Baz, Ibnu Utsaimin, Albani, Muhammad bin Abdil Wahab (pendiri Wahabi) dan ulama dari Hizbut Tahrir menyerupai Nabhani tidak kami anggap sebagai mujtahid lantaran metode pengambilan aturan yang mereka gunakan tidak standar. Baca juga: Ijtihad dalam Islam
_____________________
HARTA PENINGGALAN SUAMI TANPA ANAK
Ass. Wr. Wb
Yth. Majelis Alkhoirot. Ijinkan saya menanyakan sesuatu berkaitan dengan waris. Kakak wanita saya, Jaojatun, 58 tahun, PNS. Suaminya, Suharyo Hanafi, pensiunan PNS, sudah meninggal bulan Desember 2014 lalu. Berdua tidak mempunyai anak. Suami mempunyai harta bawaan (pemberian orang tua) berupa tanah pekarangan, dan tanah pekarang tersebut didirikan rumah oleh suami istri. Pemberian yang lain berupa tanah sawah 1/4. Orang bau tanah suami baik bapak atau ibu sudah meninggal. Suami mempunyai saudara kandung berjumlah 7 orang, yaitu 5 orang pria dan 2 orang perempuan.
Pertanyaan saya dan mohon klarifikasi :
1. Berapa potongan yang diperoleh abang saya, Jaojatun dan berapa potongan untuk saudara kandung suamikon
2. Apakah harta bawaan harus dikembalikan kepada yang memberi dalam hal ini orang bau tanah (saudara kandung)nya?
3. Bagaimana menghitung harta gono-gini?
JAWABAN
1. Istri menerima potongan 1/4 (seperempat) dari seluruh harta peninggalan suaminya.
Sedangkan sisanya yang 3/4 diberikan semua untuk para saudara kandung baik yang pria maupun wanita dengan sistem 2:1 yakni saudara pria menerima potongan dua kali lipat dibanding saudara wanita berdasarkan QS An-Nisa 4:11
Catatan:
- Harta yang dibagi yaitu seluruh harta langsung suami. Baik yang dimiliki sebelum menikah maupun sesudah pernikahan.
- Apabila dalam harta suami ada harta orang lain, contohnya dari modal perjuangan bersama, maka harta milik orang lain tersebut harus dipisah lebih dulu. Yang milik orang lain dikembalikan pada yang punya seutuhnya sedang yang milik almarhum dijadikan harta warisan. Yang dimaksud orang lain itu sanggup juga istri. Baca detail: Hukum Waris Islam
2. Harta bawaan almarhum dianggap potongan dari harta waris yang harus dibagikan kepada andal waris menyerupai disebut dalam tanggapan poin 1.
3. Dalam Islam tidak ada harta gono-gini alias harta bersama suami-istri yang bersifat otomatis. Artinya, harta suami yang didapat sesudah menikah tetap menjadi hak milik suami dan harta istri sesudah menikah tetap menjadi hak milik istri. Namun, kalau sesudah menikah kemudian suami istri membuka perjuangan dengan harta dari kedua belah pihak, maka harta tersebut harus dipisah lebih dulu di mana harta milik suami menjadi harta warisan sedangkan harta milik istri dikembalikan sepenuhnya pada istri lantaran itu hak milik langsung dari istri.
Begitu juga, kalau dalam pembelian rumah ada harta istri yang ikut di dalamnya, maka harta istri tersebut harus dikembalikan seutuhnya padanya sebelum rumah itu diwariskan. Baca detail: Harta Gono gini dalam Islam
Sumber https://www.alkhoirot.net
KASUS KEDUA
3. Bagaimana cara menyikapi pendapat ustadz semacam yang saya sebutkan di masalah kedua tadi?
Saya heran, kenapa beliau berani bilang menyerupai itu. Padahal saya rasa beliau kurang memahami mengenai fair use. Belum lagi, beliau bilang tidak pernah menciptakan artikel ilmiah sehingga tidak pernah melaksanakan pengutipan. Tapi pas menjawab pertanyaan saya, beliau kok malah mengutip / menyebut dari anutan ulama.
4. Bagaimana cara menyikapi pendapat seorang ustadz yang mengharamkan atau melarang melaksanakan sesuatu tanpa didasari dalil qur'an dan hadist?
5. Jika saya bertanya kepada beberapa ustadz dalam hal apapun, terus pendapatnya berbeda. Maka mana yang harus saya pilih?
6. Apabila ada orang awam yang ilmunya minim mengenai islam, kemudian beliau punya duduk masalah wacana halal haramnya suatu masalah dalam aturan islam. Setelah beliau bertanya kepada beberapa ustadz, ternyata jawabannya berbeda dan bertolak belakang disebabkan masalah tersebut tidak dibahas secara terang di Alquran maupun hadist, bahkan di anutan pun belum jelas.
Setelah dianalisa, beliau menentukan salah satu tanggapan dari salah seorang ustadz yang menurutnya tepat. Nah, jikalau seandainya ternyata tanggapan yang dipilihnya itu tidak benar. Berdosakah orang awam tersebut, ataukah hanya ustadz yang menyarankan saja yang berdosa, atau mungkin tidak ada yang berdosa?
Demikian ustadz. Ditunggu atas jawabannya secepatnya. Setelah terjawab nanti akan kembali saya kirim akhir email berupa pertanyaan komplemen jikalau belum terang atau kesimpulan yang sanggup saya sanggup sesudah 3 kali bertanya disini, sehingga duduk masalah yang saya hadapi ini sanggup clear semua.
Wassalamu'alaikum Wr Wb.
JAWABAN
1. Iya. Kalau beliau (penulis itu) melarang tulisannya dikutip atau di-parafrase walaupun menggunakan aturan fair use, maka hukumnya haram melakukannya. Karena, penulisan bersifat hak cipta personal. Oleh lantaran itu, aturan yang dibentuk secara personal (oleh penulis tersebut) itu lebih berpengaruh daripada yang dibentuk secara umum (aturan fair use universal).
Allah meminta insan untuk memenuhi perjanjian yang dibentuk menyerupai disebut dalam QS Al-Maidah 5:1. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa [الناس علي أشراطهم] Artinya: "Manusia itu berdasarkan syarat-syarat yang dibuat." Maknanya, transaksi antar insan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila tidak ada kesepakatan secara khusus, maka aturan umum-lah yang berlaku. Ini selagi aturan yang dibentuk itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Apabila berlawanan dengan syariat Islam, menyerupai hutang-piutang dengan riba, maka tidak perlu ditaati.
Namun demikian, seandainya memang ada penulis yang keberatan tulisannya dikutip berdasar fair use, maka perlu diminta konfirmasi padanya apakah betul beliau tahu apa itu fair use dan jelaskan maksudnya. Orang yang keberatan itu mungkin mengira akan dikutip secara verbatim seluruh artikel.
2. Iya. Otomatis menjadi halal apabila tidak ada aturan khusus dari penulis terkait, maka aturan fair use yang berlaku lantaran itu sudah menjadi tradisi dalam dunia intelektual. Dalam kaidah fiqih dikatakan [العادة محكمة] "Tradisi itu menjadi hukum." Artinya, insan boleh menundukkan diri pada tradisi yang berlaku apabila tidak berlawanan dengan syariah Islam.
3. Pendapat wacana duduk masalah agama hendaknya harus disertai dengan dalil dan tumpuan baik rujukan Al-Quran, hadits atau pendapat ulama. Tanpa diperkuat oleh rujukan, maka pendapatnya tidak sanggup dipertanggjungjawabkan secara ilmiah.
4. Lihat ustadznya dulu. Kalau ustadz sekedar sanggup pidato tanpa mempunyai basis ilmiah mendalam, maka pendapatnya tidak usah dianggap. Kalau ustadznya dikenal mempunyai reputasi sebagai orang yang andal agama dari tulisan-tulisan beliau sebelumnya, maka kita sanggup berbaik sangka bahwa ucapannya yang tanpa dalil itu mungkin saja ada dalilnya tapi tidak beliau sebutkan. Terlepas dari itu, sebaiknya anda meminta pendapat pada yang lain juga untuk konfirmasi.
5. Ambil pendapat yang mempunyai rujukan atau tumpuan pendapat ulama yang dikenal reputasinya sebagai mujtahid. Apabila tanggapan yang berbeda itu sama-sama bersandar dari pendapat ulama yang pandai tinggi, maka kita sanggup mengambil salah satu pendapat yang sesuai dengan kebutuhan kita. Baca: Talfiq dalam Islam
6. Tidak ada yang berdosa. Kalau ustadz yang berfatwa mendasarkan pendapatnya pada pendapat ulama yang mempunyai reputasi keilmuan selevel mujtahid, maka semua pendapatnya dianggap benar. Karena mereka beropini tidak berdasarkan hawa nafsu tapi berdasarkan pemahaman agama yang dimiliki. Contoh ulama mujtahid yang klasik menyerupai para ulama dari keempat madzhab fiqih yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hanbali. Contoh ulama kini menyerupai Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhaili, para Syaikh Al-Azhar Mesir, para Mufti Mesir, dan lain-lain.
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari hadits no. 6919 Nabi bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر قا
Artinya: Apabila hakim memberi putusan kemudian beliau berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala; apabila beliau memberi putusan berdasarkan ijtihadnya kemudian salah, maka ia sanggup satu pahala.
Namun tidak semua ulama ketika ini pantas disebut mujtahid. Misalnya, pendapat ulama Wahabi Arab Saudi menyerupai Bin Baz, Ibnu Utsaimin, Albani, Muhammad bin Abdil Wahab (pendiri Wahabi) dan ulama dari Hizbut Tahrir menyerupai Nabhani tidak kami anggap sebagai mujtahid lantaran metode pengambilan aturan yang mereka gunakan tidak standar. Baca juga: Ijtihad dalam Islam
_____________________
HARTA PENINGGALAN SUAMI TANPA ANAK
Ass. Wr. Wb
Yth. Majelis Alkhoirot. Ijinkan saya menanyakan sesuatu berkaitan dengan waris. Kakak wanita saya, Jaojatun, 58 tahun, PNS. Suaminya, Suharyo Hanafi, pensiunan PNS, sudah meninggal bulan Desember 2014 lalu. Berdua tidak mempunyai anak. Suami mempunyai harta bawaan (pemberian orang tua) berupa tanah pekarangan, dan tanah pekarang tersebut didirikan rumah oleh suami istri. Pemberian yang lain berupa tanah sawah 1/4. Orang bau tanah suami baik bapak atau ibu sudah meninggal. Suami mempunyai saudara kandung berjumlah 7 orang, yaitu 5 orang pria dan 2 orang perempuan.
Pertanyaan saya dan mohon klarifikasi :
1. Berapa potongan yang diperoleh abang saya, Jaojatun dan berapa potongan untuk saudara kandung suamikon
2. Apakah harta bawaan harus dikembalikan kepada yang memberi dalam hal ini orang bau tanah (saudara kandung)nya?
3. Bagaimana menghitung harta gono-gini?
JAWABAN
1. Istri menerima potongan 1/4 (seperempat) dari seluruh harta peninggalan suaminya.
Sedangkan sisanya yang 3/4 diberikan semua untuk para saudara kandung baik yang pria maupun wanita dengan sistem 2:1 yakni saudara pria menerima potongan dua kali lipat dibanding saudara wanita berdasarkan QS An-Nisa 4:11
Catatan:
- Harta yang dibagi yaitu seluruh harta langsung suami. Baik yang dimiliki sebelum menikah maupun sesudah pernikahan.
- Apabila dalam harta suami ada harta orang lain, contohnya dari modal perjuangan bersama, maka harta milik orang lain tersebut harus dipisah lebih dulu. Yang milik orang lain dikembalikan pada yang punya seutuhnya sedang yang milik almarhum dijadikan harta warisan. Yang dimaksud orang lain itu sanggup juga istri. Baca detail: Hukum Waris Islam
2. Harta bawaan almarhum dianggap potongan dari harta waris yang harus dibagikan kepada andal waris menyerupai disebut dalam tanggapan poin 1.
3. Dalam Islam tidak ada harta gono-gini alias harta bersama suami-istri yang bersifat otomatis. Artinya, harta suami yang didapat sesudah menikah tetap menjadi hak milik suami dan harta istri sesudah menikah tetap menjadi hak milik istri. Namun, kalau sesudah menikah kemudian suami istri membuka perjuangan dengan harta dari kedua belah pihak, maka harta tersebut harus dipisah lebih dulu di mana harta milik suami menjadi harta warisan sedangkan harta milik istri dikembalikan sepenuhnya pada istri lantaran itu hak milik langsung dari istri.
Begitu juga, kalau dalam pembelian rumah ada harta istri yang ikut di dalamnya, maka harta istri tersebut harus dikembalikan seutuhnya padanya sebelum rumah itu diwariskan. Baca detail: Harta Gono gini dalam Islam
Sumber https://www.alkhoirot.net
Buat lebih berguna, kongsi: